Reviu K-Novel Sam Di Gi: Bocah yang Tak Bisa Membaca

NONTON serial drakor sudah biasa, tetapi apakah pernah baca novel Korea? Korea juga punya karya novel yang enggak kalah bagusnya. Salah satu k-novel yang telah kubaca adalah Sam Di Gi: Bocah yang Tak Bisa Membaca.

Awalnya sedang mencari buku dari salah penulis asal Korea. Akan tetapi, ternyata enggak ada di iPusnas. Aplikasi perpusnas tersebut justru merekomendasikan novel penulis Korea lain Woo Yousoon. Judulnya eye catching. Ketika mau pinjam, ternyata antre. Makin penasaran karena bwnyak peminatnya.

Sampai akhirnya di hari Senin mencoba mengakses kembali novel tersebut. Syukur, tersisa satu salinan. Langsung pinjam dan berhasil! Ketika dibuka, jumlah halamannya sedikit. Dalam sekali duduk bisa selesai, tetapi aku baru selesai dua hari, hihi.

Reviu K-Novel Sam Di Gi: Bocah yang Tak Bisa Membaca, Novel atau Cerita Anak?

Sam Di Gi
Menceritakan tentang seorang anak kelas 2 SD bernama Um Sam Deok atau dikenal Sam Di Gi. Dia enggak bisa membaca. Dia harus menghadapi hari-hari yang enggak menyenangkan saat sekolah karena diejek oleh teman-teman sekelasnya. Kekurangan Sam Di Gi adalah alasan di balik perundungan.

K-Novel yang ditulis oleh Won Yousoon ini memiliki tebal halaman sebanyak 94 halaman. Novel berbahasa Korea ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Enggak hanya bisa dibeli secara fisik, kita juga bisa membaca secara gratis di iPusnas—meski harus antre.

Setelah membaca novel ini sampai habis, aku mulai bertanya-tanya dalam hati. Sebetulnya ini novel atau cerita anak? Sebab, kalau ditotal pun perkiraan jumlah kata enggak sampai 10.000. Ukuran fon yang digunakan juga lumayan besar. Per lembar pun hanya diisi satu sampai tiga paragraf, empat paling banyak.

Mengangkat Isu yang Cukup Serius

mengangkat isu serius
Terlepas dari kebingungan, ini novel atau cernak. Sam Di Gi: Bocah yang Tak Bisa Membaca punya pesan yang serius. Secara keseluruhan, sebetulnya ringan dan sederhana untuk dibaca. Akan tetapi, isu yang diangkat enggak sesederhana itu.

Enggak bisa dipungkiri bahwa sekolah yang harusnya jadi tempat anak belajar sopan santun dan menghargai sesama. Justru, jadi sarang perundungan dan merendahkan orang lain. Bukan hanya di Indonesia, melainkan di hampir seluruh dunia, salah satunya Korea.

Sam Di Gi anak yang tinggal bersama sang nenek berusia 70 tahun. Ayahnya sudah meninggal, sementara ibunya pergi entah ke mana. Neneknya pun tidak bisa membaca, hal ini membuat Sam Di Gi enggak punya figur yang dapat membantunya untuk belajar membaca. 

Sam Di Gi juga harus menghadapi masalahnya di sekolah. Teman-teman yang mengejek dengan sebutan Si Buta Huruf. Guru yang selalu menyalahkan kesalahannya tanpa memberikan apresiasi. Sam Di Gi dijauhi dan enggak didukung penuh oleh sang guru.

Ironi, ya? Sekolah yang harusnya mendidik, kenapa jadi menghardik? Bukankah sekolah adalah tempat anak belajar dari yang enggak bisa menjadi bisa? Bukankah sekolah punya pelajaran moral dan sikap terpuji untuk para muridnya?

Secara harfiah dan tertulis memang seperti itu. Namun, pada realitas dan eksekusinya? Berbanding terbalik. Aku adalah salah satu orang yang pernah mengalami perundungan saat kelas 1 SD. Satu kelas menjauhi dan enggak ada yang mau menemaniku. Entah apa alasannya. 

Menyentil Stigma Masyarakat yang Beredar

Stigma masyarakat
Kemudian, pada k-novel Sam Di Gi: Bocah yabg Tak Bisa Membaca juga menyadarkan tentang stigma yang masih beredar. Kita pasti pernah denger kalimat seperti ini, “Namanya juga anak-anak, enggak apa-apa, nanti juga berubah.

Dalam beberapa anak mungkin pada akhirnya akan berubah. Namun, hal ini enggak bisa dijadikan acuan untuk membiarkan anak-anak berlaku seenaknya hingga merugikan orang lain. Justru, masa kanak-kanak adalah masa emas yang harus dimanfaatkan para orangtua untuk menanamkan sikap dan perilaku terpuji.

Salah satunya seperti Yeon Bo Ra, anak perempuan pindahan dari desa yang datang bagai malaikat untuk Sam Di Gi. Bo Ra adalah anak yang suka sekali membaca. Bo Ra menjadi satu-satunya anak yang menghargai dan mengapresiasi Sam Di Gi.

‘Yeon Bo Ra kamu adslah guru untuk Ibu. Dan kamu Um Sam Deok, nilai diktemu seratus!
—Ibu Guru, 90.

Yeon Bo Ra adalah satu contoh anak yang tetap bisa memiliki sikap dan perilaku terpuji. Bukankah hal ini bisa diterapkan kepada anak-anak lainnya tanpa hsrus menormalisasikan sikan kurang baik pada anak-anak?

Tanpa mengurangi rasa hormat padaa guru. Enggak ada salahnya guru memberi sedikit apresiasi untuk para murid yang telah melakukan progres sekecil apa pun itu. Bukankah sesuatu yang benar bisa dipelajari karena adanya kesalahan? Tiap guru memang punya cara sendiri dalam mengajar dan mendidik. Akan tetapi, setiap anak pun punya cara sendiri dalam menerima ajaran dan pendidikan.

Begitu pula dengan orangtua yang harus terbuka dan memperhatikan pergerakan sang anak. Sikap perundungan mungkin akan bisa berubah, tetapi dampaknya terhadap korban akan selalu membekas. Bisa jadi ketika seseorang telah mengubah sikap buruknya. Di sisi lain, ada korban yang sampai dewasa masih menyimpan masa lalu pahit dan memiliki kesehatan mental yang kurang baik.

Sam Di Gi: Bocah yang Tak Bisa Membaca memberi pesan kehidupan yang begitu dalam. Ceritanya dibalut dengan ringan, tetapi isunya masih sangat sulit untuk diatasi. Salah satu hal yang aku suka dari k-novel ini adalah sikap Sam Di Gi yang tetap tegas dan lumayan berani. Sam Di Gi enggak takut untuk membalas cacian teman sekelasnya. 

ITU DIA reviu buku k-novel Sam Di Gi: Bocah yang Tak Bisa Membaca. Mengajarkan aku untuk lebih peka dan menghargai keadaan—siapa pun—yang ada di sekitar. Aku sangat merekomendasikan novel atau cerita anak ini. Kalau udah dibaca, coba komentar di bawah, ya!

Next Post Previous Post
7 Comments
  • Phai Yunita S Wijaya
    Phai Yunita S Wijaya 28 Mei 2024 pukul 06.46

    Miris sekali ya ketika ada sekolah yang malah menjadi tempat terjadinya perundungan terhadap siswa didiknya. Apalagi secara tidaa langsung guru menjadi penyebab siswanya semakin dirundung temannya. Semoga cerita Sam Di Gi banyak menginspirasi orang. Agar peristiwa perundungan oleh teman sebaya bisa dihindari.

  • Han
    Han 28 Mei 2024 pukul 17.01

    Aaaak pengen bacaaa. Aku suka sebel sama sekolah yang ngebiarin anak2 dirundung, dianggap masalah kecil dan selalu ngerespon: namanya juga anak2, padahal justru masih anak2 mereka harus tahu batasan dan mana yang boleh dan ngga boleh

  • junkeisea
    junkeisea 28 Mei 2024 pukul 17.39

    Covernya memang menarik ya Kak. Bisa jadi referensi kapankapan kalau mau baca novel Korea

  • Yonal Regen
    Yonal Regen 28 Mei 2024 pukul 19.00

    Bagi saya sebagai seorang pengajar, Sam Di Gi banyak memberikan hikmah dan pembelajaran untuk dapat menghargai setiap anak dengan pencapaian apapun dan sekecil apapun agar tumbuh optimisme dalam diri mereka dan keinginan untuk terus maju dan berkembang

  • Heni Hikmayani Fauzia
    Heni Hikmayani Fauzia 28 Mei 2024 pukul 20.27

    Koq seru ya bukunya 😍😍.
    Saya wajib baca ini...reviewnya seruu...

  • Windi astuti
    Windi astuti 28 Mei 2024 pukul 21.32

    aku gak bisa membayangkan, usia 1 SD sudah ada pembullyan di sekolah. bagaimana itu korban. Jadi remeinder bagi kami para orang tua, untuk tetap dekat dan bisa menggali apa yang dialami anak dalam pertemanannya

  • Dyah Kusuma
    Dyah Kusuma 3 Juni 2024 pukul 01.09

    Hmm memang isu perundungan ini seolah tiada habisnya, yang miris kejadiannya banyak terjadi di lingkungan sekolah

Add Comment
comment url