KETIKA duduk di kelas satu SD, masih ingat dalam benak. Aku terjebak dalam perundungan. Tidak memiliki teman sama sekali. Namun, waktu itu masih kekeh untuk berteman dengan mereka yang merundung. Kami masih pulang bareng—bersama orangtua mereka. Anehnya, setiap melewati depan rumahku, mereka jadi bestie dadakan!
Tentunya pada masa itu aku tidak menyadari kalau aku dirundung. Aku juga tidak memahami mengapa dijauhi dan dipojokkan tanpa alasan? Sampai akhirnya aku dan keluarga pindah rumah dan otomatis pindah sekolah. Saat itu aku naik ke kelas dua SD. Ada momen yang masih terekam jelas di kepalaku.
Waku itu mami mengantarkanku ke sekolah baru—tidak jauh dari rumah, jalan kaki saja bisa. Ketika sampai di depan sekolah baru, aku bingung. Kemudian merengek dan berkata, “Vina mau sekolah di sekolah yang kemarin, Mami!”
Mami aku cuma membalas, “Sekolah yang kemarin jauh, Vina.”
Mendengar itu aku jadi cemberut. Sekarang kalau dipikir-pikir mengapa aku masih mau di sekolah yang teman-temannya tidak mau berteman denganku? Sebab, ketika menjadi siswi baru di sekolah baru, aku mendapatkan banyak teman baik dan menyenangkan. Bahkan, beberapa di antara mereka masih berteman sampai saat ini.
Anyway, fun fact-nya ketika masuk SMP. Aku justru satu sekolah dengan teman yang dulu menjauhiku. Dan, coba tebak! Dia jadi gadis yang manis, kalem, dan baik hati. Dia juga pintar, berbeda denganku yang rada-rada geser, haha. Saat itu aku tidak marah ataupun menyimpan dendam, ya, mikirnya maklum masih anak kecil. Sekarang pun kami follow-an di media sosial.
Ralat. Makin ke sini, aku menyadari. Mau anak kecil maupun dewasa, bullying tidak bisa dinormalisasi. Tidak bisa dikatakan dengan alibi namanya juga anak kecil. In the end, efek bullying akan berpengaruh pada korban sampai tumbuh dewasa nanti. Aku sendiri bersyukur karena tidak mengalami perundungan yang parah. Ditambah ketika pindah sekolah, mimpi burukku berubah jadi kenyataan yang indah. Jadi, aku tidak terlalu berdampak terhadap perundungan yang aku dapatkan saat kelas satu SD.
Alasan Kita Harus Menghentikan Arus Bullying!
Setiap tahunnya, media sosial kita hampir tidak pernah luput dengan berita seputar bullying. Mirisnya, kejadian tersebut kebanyakan terjadi di lingkungan pendidikan. Mulai dari sekolah, kampus, lembaga institusi, hingga rumah sakit universitas. Bukankah pendidikan harusnya melahirkan generasi yang mendidik? Lantas, mengapa masih ada sekelompok pelajar yang attitude-nya tidak terpelajar?
Kasus perundungan ini tentunya menjadi isu yang serius. Sebab, sampai sekarang masih marak. Selain berdampak pada fisik, psikis, dan nyawa—karena menyebabkan korban mengakhiri hidupnya. Hal ini perlu menjadi perhatian lebih dan kerja sama antara lembaga pendidikan dan orangtua. Bagaimanapun orangtua punya andil.
Permasalahannya, tidak sedikit oknum di lingkungan pendidikan yang memandang sebelah mata atau menutup telinga terkait bullying. Kita pasti pernah mendengar sekolah berusaha menutupi bullying yang terjadi di dalamnya demi menjaga reputasi. Menjaga nama baik, tetapi ikut menjadi pelaku karena makin menyakiti korban bullying.
Artinya, perlu ada perbaikan dan perubahan dari dalam. Mulai dari perombakan sistem pendidikan, kemudian, pola asuh orangtua. Memang tidak mudah, tetapi paling tidak dapat mengurangi arus bullying. Namun, hal paling mudah adalah dimulai dari diri sendiri terlebih dulu. Untuk mencegahnya, kita perlu memahami alasan kita harus menghentikan arus bullying.
Memiliki Dampak Jangka Panjang
Dilansir unicef.org bahwa perundungan akan berdampak pada fisik maupun mental. Hal ini akan mengikuti proses perkembangan hidup si korban. Artinya, tidak menutup kemungkinan korban bullying mengalami masalah kesehatan mental hingga dewasa. Korban mau tidak mau menyimpan memori menyakitkan—perundungan—dan membekas. Khawatir akan membawanya pada hal-hal menjerumuskan.
Baik perempuan maupun laki-laki tidak luput dari perundungan. Anak laki-laki biasanya mengalami perundungan pada fisik. Sementara anak perempuan perundungan biasa dilakukan secara verbal—meski tidak sedikit dengan kekerasan fisik. Namun, keduanya memiliki pengaruh buruk berjangka panjang bagi si korban.
Dampak psikologis seperti rentan dengan emosi negatif: takut, cemas, dan marah. Emosi negatif ini pun pada akhirnya dapat memicu gangguan psikosomatis. Gangguan tersebut yaitu ketika muncul luka pada fisik karena terlalu didominasi efek emosi negatif tadi. Psikosomatis juga disebabkan oleh menurunnya kepercayaan diri yang merupakan akibat bullying.
Dampak tersebut akan berpengaruh pada kehidupan korban sampai dewasa. Sebab, setiap orang punya kemampuan mengelola emosi dan mental yang berbeda. Korban bullying menghadapi proses kehidupan dengan traumatis. Sementara, tidak sedikit pelaku bullying yang tumbuh tanpa rasa bersalah. Sebab, pelaku berasumsi sikap perundungan adalah bentuk kekuatan bukan kesalahan.
Kekuatan bukan Penindasan
Alasan kita harus menghentikan arus bullying supaya kita atau orang lain tidak semena-mena dalam menggunakan kekuatan atau kekuasaan. Karakter seseorang akan tampak ketika dia mendapatkan kekuatan dan kekuasaan. Kita harus memahami dan lebih bijak lagi dalam memanfaatkan kedua hal tersebut.
Dari unicef.org, biasanya orang yang melakukan tindakan bullying adalah orang yang punya status sosial lebih tinggi. Mereka berpikir dengan mudah menindas orang lain yang lebih lemah secara fisik, emosional, maupun finansial. Tidak ada bentuk perundungan yang hebat karena perundungan merupakan tindakan kriminal.
Biasanya pelaku melakukan tindakan bullying berkelompok dan menyerang satu individu. Terdengar tidak lebih dari pengecut, bukan? Cara berpikir para pecundang memang cukup primitif. Sejatinya, kekuatan dan kekuatan adalah bentuk tanggung jawab seseorang. Bertanggung jawab menggunakan kedua hal itu untuk menjadi manfaat bagi orang lain, bukan malah menyakiti.
Artinya, apa pun kedudukan dan status sosial yang kita miliki. Kita tetap harus menjunjung empati dan mengesampingkan ego. Meremehkan orang lain tidak lantas membuat kita terlihat kuat. Sebaliknya, perundung adalah pecundang yang bersembunyi di balik kekuatan dan kekuasaan. Oleh karenanya, kita perlu belajar berempati dan menghargai orang lain.
Menjaga Generasi Berakhlak
Bullying dapat terjadi dan dilakukan oleh siapa pun. Mulai dari anak-anak hingga dewasa—orang dewasa yang merundung masih childish. Alasan kita harus menghentikan arus bullying harus dimulai dari diri sendiri. Misal, aware dan peduli dengan orang lain. Berempati, bagaimana kalau diri kita yang mengalami? Setelah itu, mengedukasi orang-orang terdekat, terutama anak-anak.
Anak kecil yang melakukan tindakan bullying tentu tidak bisa dinormalisasi. Masalahnya, tindakan tersebut akan berdampak jangka panjang bagi korban. Mungkin anak kecil yang merundung itu akan tumbuh jadi remaja dan orang baik. Di sisi lain, dia tidak menyadari bahwa tindakannya meninggalkan efek traumatis bagi korban.
Arus bullying harus dihentikan agar generasi selanjutnya tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional. Generasi yang pintar, tetapi tidak berakhlak akan merugikan orang lain. Generasi Berakhlak, tetapi tidak memiliki intelektual yang baik akan merugikan diri sendiri. Sehingga p,erlu diseimbangkan. Katanya, mau menyongsong generasi emas tahun 2045? Kalau kasus perundungan masih marak, bagaimana mau jadi bangsa emas?
SEDERHANYA alasan kita harus menghentikan arus bullying adalah sebagai bentuk kepedulian terhadap orang lain. Pentingnya memiliki emosional yang baik untuk berempati. Rasanya geram jika kita melulu mendengar kabar kasus perundungan. Khawatir hal tersebut akan terjadi pada anak, cucu, atau saudara kita.
Selain itu, kita juga perlu diskusi terbuka terkait dampak dan perilaku buruk bullying terhadap anak. Berbicara sebagai orangtua, kakak, atau teman. Bahkan, kita sendiri perlu membenah diri dan belajar agar keturunan kita tidak menjadi pelaku bullying. Dengan begitu kita ikut serta menekan arus bullying.
—
Referensi
- Unicef - - https://www.unicef.org/indonesia/id/cara-membicarakan-bullying-dengan-anak-anda
- Stomp Out Bullying - - https://www.stompoutbullying.org/are-you-a-bully
- Klik Dokter - - https://www.klikdokter.com/psikologi/kesehatan-mental/dampak-bullying-korban-dan-pelaku
Posting Komentar