LARI. Silakan lari dari masalah sesuka hatimu. Tidak perlu menoleh ke belakang karena hanya akan membuatmu terbirit-birit. Berlarilah tanpa rasa peduli karena kamu merasa dikecewakan. Fokuslah melebarkan kaki dengan cepat, menatap ke depan. Kamu berlari menuju sesuatu yang kamu tidak tahu ada apa di sana. Demi meninggalkan sesuatu di belakang yang menurutmu meresahkan.
Sementara aku hanya berdiri diam di belakang kamu. Punggungmu begitu tergopoh-gopoh. Kadang-kadang ada rasa ingin tertawa, kamu berlari seperti dikejar-kejar monster. Ah, tetapi memang benar kita diserang oleh monster kehidupan. Lambat laun tubuhmu menjadi kecil di pandanganku, kamu makin jauh dari tempatku berdiri. Aku tersenyum masam, kamu masih belum dewasa—sama seperti aku, kok.
Jangan pernah berpikir kamu berlari tanpa meninggalkan sesuatu. Tolong percaya dan pahami. Kamu berlari bukan hanya meninggalkan masalah, melainkan menambah masalah dan menjadikan masalah makin rumit untuk dihadapi.
Aku juga sebetulnya ingin menjemputmu berlari. Bila perlu aku ingin berlari mendahuluimu. Akan tetapi, aku memilih bertahan pada masalah daripada pergi dan menggandakan masalah. Aku tidak mungkin marah kepada kamu karena aku tahu betapa kamu kecewa dan resah. Namun, aku ingin kamu tahu betapa aku kecewa dengan keputusanmu untuk lari dari masalah. Mungkin sebenarnya kamu tidak betul-betul lari. Tubuh kamu memang menjauh, tetapi pikiran dan hati kamu masih dalam masalah ini, kan?
Fyuh … badai yang besar kembali datang. Memberi kabar tidak baik-baik saja. Meminta kita untuk berhadapan kembali dengan badai yang entah sampai kapan akan singgah. Meskipun dahulu kita pernah diserang badai yang sama. Rasanya memang tetap sama, tetapi kita adalah manusia yang tetap butuh proses untuk bisa menerima dan menghadapi kenyataan. Lucu, ya, hidup? Ketika aku berusaha menjaga hidupku tetap tenang. Namun, aku tetap saja tidak bisa mengendalikan suara berisik yang datang dari luar.
Aku bisa saja kembali hidup dalam ketenangan. Menyumpal telinga dengan penyuara telinga. Menyetel lantunan lagu-lagu yang syahdu. Memejamkan mata tanpa melihat apa pun yang terjadi di sekitar. Maka aku akan tampak seperti orang egois di tengah-tengah syarat-marut. Namun, mana bisa aku seperti itu?! Kepalaku berisik, memang tidak sakit, tetapi pusing. Aku banyak berpikir, bagaimana cara menyelesaikan masalah ini? Atau paling tidak, bagaimana menghadapi masalah ini?
Sejak Senin malam aku bertekad untuk mengawali hari Selasa dengan semangat baru. Aku akan menjadikan hari Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan seterusnya adalah hari-hari belajar berpikir positif. Selasa belum usai, sore-sore kabar buruk mengetuk pintu hati yang sedang damai-damainya.
Kedamaian berubah menjadi penat kembali.
Kabar baiknya, Tuhan benar-benar mendengarkan keinginanku untuk belajar menjadi orang sabar di tahun ini. Sebab, sejak dua pekan lalu hingga detik ini, bertubi-tubi kejadian datang memberi pelajaran tentang kesabaran. Masalah yang terjadi kali ini membuatku makin mengenal diri sendiri. Sebelumnya aku berpikir aku mampu menahan ego, nyatanya aku masih punya ego. Aku tidak sebaik seperti yang kupikirkan. Namun, setidaknya aku memilih bertahan dan mencoba menyelesaikan masalah yang datang dari luar tersebut.
Bagaimanapun dahulu ketika masih remaja aku sering lari dari masalah. Ternyata lari dari masalah hanya membuat durasi masalah itu sendiri makin panjang, makin sulit untuk diselesaikan. Sebetulnya berlari atau menetap merupakan sebuah pilihan. Akan tetapi, sebelum kita benar-benar menentukan pilihan kadang kita perlu menyadari sesuatu. Kemanapun kaki berpijak dan menjauh, masalah Tidak akan pernah sirna. Masalah bukanlah sebuah tempat yang bisa kita tinggal dan minggat begitu saja. Masalah seperti tali yang terikat pada tubuh kita. Hanya akan terlepas jika kita bisa melepaskannya.
Sejujurnya. Masalah yang datang hari ini jauh lebih berat daripada kenyataan tentang pembengkakan otak. Aku memang tidak begitu khawatir, justru aku mulai merasa tidak peduli lagi dengan hasil diagnosis yang akan dibacakan pada hari Jumat nanti. Sebab, saat ini aku benar-benar sedang berpikir untuk bagaimana menghadapi masalah yang baru saja datang. Eum, maaf kali ini aku tidak bisa menceritakannya. Tulisan ini hanya ungkapan ekspresi emosi yang terpendam dalam diri aku.
Betapa aku marah, tetapi di saat yang bersama aku juga dirundung rasa bersalah. Betapa aku kecewa, tetapi di saat yang sama aku direnggut rasa iba. Betapa aku ingin menangis dan berteriak karena tidak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang aku berpikir. Apakah semua ini terjadi karena salah dan dosaku? Jika iya … aku akan menerimanya.
Tahu, tidak?
Betapa aku merasa gagal total menjadi diri sendiri. Aku merasa malu karena sering menulis tentang pengembangan diri dan mencintai diri sendiri. Akan tetapi, realitas kehidupan justru berkata sebaliknya. Maka aku akan berhenti untuk menulis apa-apa yang tidak sesuai dengan realitas hidup aku sendiri. Mungkin aku hanya akan menulis sesuatu yang bersifat perjalanan dan pengalaman hidup. Sebentar, ya,, hari ini rasanya sangat melelahkan. Satu hari yang terlalu melelahkan daripada dua pekan menunggu hasil diagnosis.
Aku menghela dan mengembuskan napas. Kepala rasanya pusing, sampai membuat kening berkerut berkali-kali. Memang rasanya tidak begitu sakit, tetapi sukses membuat tidur tidak tenang. Memikirkan apalagi yang akan terjadi di hari esok? Rasa-rasanya sudah tidak bisa tenang lagi untuk menikmati hari-hari seperti sebelumnya. Kehidupan seakan-akan kembali menunjukkan taring. Mungkin Tuhan sedang menegur aku untuk selalu kembali kepada-Nya.
Aku tidak tahu sampai kapan masalah ini akan bertahan. Akan tetapi, yang aku tahu Aku akan terus bertahan pada masalah ini. Aku perlu mengingatkan diri sendiri bahwa masalah adalah tempat kita sebagai manusia bertumbuh dan belajar. Ini baru permulaan. Esok, lusa, tulat, tubin, dan seterusnya adalah proses yang mesti dihadapi. Entah di hari keberapa masalah ini akan berakhir. Namun, aku akan memastikan ketika masalah itu sampai pada titik akhir, aku akan menjadi Vina yang tumbuh dan Vina yang mendapatkan pelajaran baru lagi. Ini adalah salah satu alasan aku memilih bertahan dan tidak lari dari masalah.
Hamasah, Vina, you’re fighter!
Posting Komentar