Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Aku bukan Orang Baik, Aku Jahat

Aku orang baik

PALING MENYEBALKAN adalah ketika aku menemukan bahwa aku bukan orang baik. Aku menyadari bahwa ternyata aku memiliki sisi jahat. Selama ini baru usaha untuk bagaimana caranya agar orang lain enggak berasumsi atau menilai negatif tentang diri aku. Selama ini aku mencoba untuk menjaga diri dari perilaku negatif, tetapi dalam beberapa kondisi, aku merasa sering melakukan sebuah kesalahan.

Kadang-kadang maju mundur, apakah aku harus meminta maaf terhadap kesalahan aku? Masalahnya kesalahan tersebut muncul dari pikiran aku sendiri. Jadi, aku lumayan overthinking terhadap tindakan yang aku lakukan. Kemudian aku menuduh diri sendiri melakukan sebuah kesalahan yang membuat orang lain enggak nyaman. Parahnya, ketika aku menyalahkan diri sendiri, kemudian aku menyalahkan orang lain karena aku merasa diasingkan.

Orang-orang selalu bilang bahwa aku adalah sosok yang positive vibes. Setiap istilah itu diungkapkan kepadaku, hati aku selalu berteriak bahwa itu artinya mereka belum mengenal siapa diri aku yang sebetulnya. Aku takut ketika orang lain menilai diriku dengan sesuatu yang positif, padahal aku punya sisi negatif. Aku takut orang lain berekspektasi tentang aku baik, tetapi suatu hari mereka merasa dikecewakan karena ternyata aku enggak sebaik itu.

Aku bersyukur karena punya kesadaran penuh atas emosi dan juga perilaku aku sendiri. Kesadaran itu yang membuat aku bisa mengambil langkah cepat untuk mengatasi emosi dan perilaku negatif. Akan tetapi, di sisi lain, ada peran batin yang kemudian mengajak berperang. Ketika aku berusaha untuk berpikir positif, sesuatu dalam diri aku menyerang dengan tuduhan betapa aku bukan orang baik, aku orang jahat.

Ternyata sebagian dari diriku di masa lalu, masih mengikuti sampai saat ini. Ketika dahulu diasingkan karena merasa aku adalah sebuah kesalahan. Ketika dahulu aku merasa layak untuk dijauhi karena memang aku adalah kesalahan itu sendiri. Sebuah konsep pemikiran yang membuat aku makin jadi orang jahat, jahat bagi diri sendiri. Kejahatan itu yang kemudian membuat aku saat ini bukan lagi jahat kepada diri sendiri, melainkan jahat kepada orang lain.

Ada masanya, ketika aku berusaha untuk membuat semua orang menyukai aku. Berangkat dari perasaan aku takut kembali diasingkan. Aku takut kembali enggak dianggap. Aku takut kembali untuk merasa enggak layak menjadi manusia yang baik. Nyatanya, usahaku menyenangkan banyak orang, hanya dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Waktu itu aku enggak menyadari konsep memanfaatkan in a bad way. Kupikir saat itu mereka mulai bisa menerimaku, ternyata enggak juga.

Mungkin hal itu yang kemudian membuat aku saat ini merasa enggak layak lagi untuk diasingkan. Padahal sebetulnya, situasi sosial sekarang pun sudah jauh menerima keberadaanku dan menganggap bahwa aku ada. Situasi sosial hidup aku sekarang bahkan bisa menghargai apa yang aku miliki. Akan tetapi, ketika satu kali saja aku diabaikan, aku langsung merasa seperti diasingkan kembali. Mungkin penolakan ini yang membuat aku berasumsi orang lain mengamini kesalahan aku.

Maksudnya ketika aku berasumsi dan merasa melakukan sebuah kesalahan, lantas kemudian situasi sosial memberikan reaksi dengan mengabaikan aku. Sebuah aksi reaksi yang seakan-akan memvalidasi pikiran aku bahwa aku jahat, bahwa aku melakukan kesalahan, dan bahwa aku memang layak untuk diabaikan. Fatalnya pengabaiannya itu membuat aku sedikit marah—entah kepada siapa.

Padahal pikiran itu hanya bersifat asumsi, bukan realitas. Pikiran aku hanya bersifat tuduhan, bukan kenyataan. Aku merasa bahwa aku punya kesadaran diri yang terlalu berlebihan sehingga membuat aku berasumsi secara liar. Padahal reaksi atau situasi sosial terhadap diri aku belum tentu sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Akan tetapi, dikarenakan pada awalnya pikiran aku sudah berasumsi yang negatif tentang diri sendiri, kemudian divalidasi dengan reaksi pengabaikan. Pikiran yang ilusi dan enggak valid itu terasa nyata.

Banyak kejadian belakangan yang membuat aku merasa makin disudutkan oleh diri sendiri. Kadang-kadang merasa cape karena terus berpikir negatif tentang penilaian orang lain terhadap diri aku. Aku selalu menilai cara orang memandang aku seperti sedang mengintimidasi atau mencerca. Aku selalu berpikir bahwa apa yang orang lain pikirkan tentang aku bahwa aku adalah orang yang jahat.

Padahal dengan aku berpikiran negatif seperti itu. Bukankah itu artinya aku yang jahat kepada orang lain? Bukankah aku telah berpikiran negatif juga terhadap orang lain? Bahkan menjadi bumerang untuk diri sendiri. Makin dipikirkan, aku malah makin membenci diri aku sendiri.

Padahal aku tahu dan sadar bahwa ketika aku menyadari melakukan sebuah kesalahan kecil, solusinya adalah perbaiki. Terlepas dari apa pun asumsi atau reaksi orang lain terhadap diri aku. Terlepas apakah aku betul-betul melakukan sebuah kesalahan. Dan, ketika aku merasa ada sedikit gestur yang menyinggung orang lain. Harusnya aku belajar untuk memperbaiki tentang bagaimana caranya bersikap. Aku menyadari semua itu, tetapi mengapa rasanya susah sekali untuk beraksi?

Setiap orang memang perlu punya self awareness. Kita perlu menyadari diri kita secara penuh. Namun, sesuatu yang berlebihan ujungnya selalu enggak baik. Sama seperti ketika aku terlalu sadar akan diri aku sampai-sampai aku tidak menyadari diri aku sendiri. Ketika aku menyadari konsep aku berpikir, tetapi terlalu sadar juga membuat aku merasa jauh dari realitas atau kenyataan.

Rasanya sedih ketika aku menemukan bahwa ternyata aku bukan orang yang sebaik itu. Ada rasa kecewa ketika aku enggak mampu menyingkirkan sisi jahat dalam diri aku. Padahal aku memahami konsep bahwa enggak ada manusia yang sempurna. Akan tetapi, memahami saja enggak cukup. Butuh keyakinan dan implementasi yang kuat ketika realitas berjalan menjadi tantangan bagi diri kita. Ketika aku mempertanyakan kembali kepada diriku saat ini tentang apa yang mendasari pemikiran-pemikiranku.

 Sebetulnya apa yang menjadi kekhawatiran aku? Ternyata aku takut ketika orang lain enggak lagi respect terhadap aku. Aku takut ketika melakukan sebuah kesalahan, orang lain akan menjauh karena aku adalah orang yang jahat. Aku takut perkataan atau perilaku aku menyinggung orang lain untuk berasumsi atau menilai negatif tentang diri aku.

Sederhananya aku takut kembali pada masa ketika aku diasingkan dan diabaikan. Aku takut masa itu datang lagi dan menjadi momok yang menakut-nakuti aku tanpa henti. Aku takut ketika aku nggak bisa berguna lagi dan bermanfaat bagi orang lain. Aku enggak mau masa itu menghancurkan situasi sosial aku yang sudah baik-baik saja saat ini.

Belajar mengendalikan diri itu ternyata sulit. Sebagai manusia kita bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Kita bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah. Akan tetapi, realitasnya kejahatan begitu mudah direngkuh, sementara kebaikan begitu jauh untuk dipeluk.

Semuanya bersumber dari pikiran dan hati. Betapa bahagia ketika penyakit hati menyerang diri kita. Aku bersyukur karena aku sadar ternyata hati aku masih butuh penyembuhan dari sebuah penyakit. Aku sangat berterima kasih kepada Allah telah memberikan kesadaran untuk segera kembali membersihkan hati. Walaupun aku mesti berjuang keras meyakini diri sendiri bahwa aku bisa menjadi baik kembali. Aku bisa menata hati dan pikiran agar selalu bisa memberikan energi positif dan berpikir positif.

Aku jadi memahami dan belajar bahwa manusia pasti punya sisi baik dan sisi jahat. Dan manusia yang baik adalah ketika dia mampu mengendalikan sisi jahat. Manusia yang baik adalah ketika dia menjadikan sisi jahatnya untuk selalu introspeksi diri. Manusia yang baik adalah ketika enggak merendahkan orang lain karena sadar dirinya pun enggak sempurna.

Dan aku mau menjadi manusia yang seperti itu. aku mau menjadi manusia yang bukan hanya sadar akan kebaikan dan juga kejahatan diri aku. Akan tetapi, aku juga mau jadi manusia yang menahan ego dan mengedepankan empati. Belajar untuk menghargai dan mengapresiasi orang lain. Sebab, nyatanya selama ini aku masih haus harga diri dan validasi dari orang lain. Padahal manusia yang baik adalah ketika kita bisa menghargai dan mengapresiasi orang lain.


Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar