[WARNING: Tulisan ini bertebaran saltik, belum melalui proses swasunting karena belum bisa]
CHECK UP mata merupakan salah satu resolusi terbesarku di tahun ini. Semenjak mulai aktif di beberapa komunitas dan kembali produktif Menulis. Berteman dengan relasi-relasi yang super positif—meski koneksinya daring. Perlahan-lahan produktivitas dan lingkungan daring tersebut membangun sesuatu yang rasanya tidak mungkin aku miliki: cita-cita. Benar kata orang bijak, betapa lingkungan amat berpengaruh dalam hidup kita.
Aku pernah dengan lantang menjawab bahwa cita-citaku adalah menjadi penulis. Kupikir itu hanya isapan jempol anak remaja berseragam putih biru. Nyatanya, menjadi penulis tampak begitu dekat dan nyata bagiku. Menulis adalah bagian hidup yang menemani aku bertumbuh. Menulis adalah keajaiban memberi kekuatan bagi tubuh aku yang lemah. Menulis adalah percikan yang memantik dan menyakinkan betapa aku layak menjadi penulis.
Ah … maaf, sampai mana tadi? Soal check up mata, ya?
Benar sekali. Aku ingin menjadi penulis yang bisa melihat dunia dengan jelas. Aku ingin menuliskan bagaimana lalu lalang manusia bergumul. Aku ingin menuliskan bagaimana awan perlahan-lahan bergerak dengan pasti. Aku ingin menuliskan hiruk-pikuk tengah kota yang penuh. Aku ingin menuliskan bagaimana hidup berputar setiap detiknya?
Aku ingin menuliskan carut-marut kehidupan sambil duduk bergeming, menatap dunia dengan bola mata yang menyorot lebih terang dan jelas. Aku ingin menulis dengan mata yang baik-baik saja. Itu cita-cita aku saat ini.
Sudah lama sekali aku tidak melihat dunia dengan normal. Aku lupa kapan terakhir kali masih bisa berjalan tanpa takut menabrak dinding. Aku lupa kapan terakhir kali berjalan sendirian menikmati sekitar tanpa harus dituntun
Aku lupa kapan terakhir kali aku bisa dengan hanyut Membaca kata per kata sebuah buku fisik. Aku lupa kapan terakhir kali bisa mengetik cerita pendek di komputer.
Semuanya berubah. Dan aku tidak ingat betul kapan semuanya berubah menjadi kabur, buram, tidak fokus. Parahnya, ada bola hitam yang melayang-layang di bola mata kananku. Perubahan ini membuat aku jadi penulis yang kurang eksplorasi. Perubahan ini membuat aku jadi penulis yang hanya mengandalkan insting tanpa kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
Sedih betul.
Kesedihan ini yang menjadi pemicu aku akhirnya berniat kuat untuk check up mata. Dan, semenjak check up mata semuanya pun kembali berubah.
•••
Senin, 28 April 2025
Sebetulnya hari ini dr. Ar bilang akan CT Scan. Namun, ternyata tidak juga. Setelah mengantre dua jam, akhirnya aku dan Mbak Vela konsultasi ke dr. Ar untuk next step-nya harus bagaimana?
“Halo, Yuvina. Ini dr. Ar yang kemarin menangani kamu di LEC,” sapa dr. Ar ketika aku dan Mbak Vela memasuki ruangan dr. Ar poli mata. Hawa dingin AC sigap menyerbu sekujur tubuh.
Setelah duduk di depannya, aku mengangguk. “Iya, Dok, masih ingat, kok.”
“Dari skala 1-10, setelah dikasih obat suntik gimana perkembangan mata kamu?” tanya dr. Ar pelan. Omong-omong aku baru sadar, kenapa, ya, suara dokter dan perawat pada soft spoken?
Ahh, yaa, ternyata obat suntik yang harus izin aku menderita itu untuk perkembangan mataku, ya. Dengan sedikit ragu dan mengingat, aku menjawab, “Emm, satu mungkin, ya, Dok? Masih adaptasi juga.”
Serius, deh, kadang aku ini orangnya suka sangsi sendiri. Namun, memang tidak ada perubahan yang signifikan, sih. Hal ini pula yang membuat RS LEC tidak bisa mendiagnosis penyaki.lt aku. Setelah itu, dr. Ar berbicara dengan asistennya. Intinya, dokter memintaku untuk segera MRI terkait penyebab utama yang membuat mataku susah melihat. MRI ini akan berkutat di bagian otak. Dan, mesti dirawat inap, lagi.
Selanjutnya Mbak Vela bersuara, “Dulu, orangtua (ibu) kami pernah operasi tumor otak. Dan, kata profesor yang mengoperasi ibu kami, ini memang ada gen dan kemungkinan besar akan nurun.”
Aku termenung mendengarnya. Sebagai anak, aku tahu, kok, kalau Mami memang pernah operasi tumor otak. Akan tetapi, aku baru tahu kalau itu adalah gen dan ada turunannya. Well, seperti yang sudah aku jelaskan di episode sebelumnya bahwa salah satu kemungkinan yang aku alami bisa jadi tumor otak. Hanya saja aku tidak merasa gejala sakit atau nyeri apa pun, kok. I’m really good, cuma mata saja yang susah melihat. Gula normal, tensi normal, hasil tes darah normal, tekanan bola mata pun normal.
Masih menjadi misteri sampai tulisan ini dibuat. Tenang saja, aku tidak terlalu masalah soal penyakitnya. Aku betul-betul menerima dan berserah. Hehe.
O, iya, sebelum masuk ke ruangan dr. Ar. Mbak Vela heeceletuk, “Vin, ruangan dokter yang depak kita, ini dokter yang dulu menangani Mami tau.
Aku mengamati pintu tepat di hadapan ruangan dr. Ar. Di sana tertulis:
JADWAL PRAKTIK
POLI SPESIALIS SYARAF dr. RA. Neilan Amroisa,
Sp.S., M.Kes.
•••
Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan.
Seperti yang sudah kukatakan. Aku tidak masalah sama sekali dengan hasil MRI-nya nanti. Jadi, aku tidak akan terlalu memikirkannya. Hanya saja, yang membuatku lumayan kepikiran adalah keluarga aku. Berapa aku betul-betul merepotkan mereka. Dan, hal lainnya yang lumayan membuat aku dilema adalah: apakah langkah yang kuambil (check up) ini sudah tepat?
Perubahannya terlalu cepat. Hidupku yang tadinya tenang dan damai. Semenjak check up mulai diserbu ketidakpastian dan sesuatu yang besar seakan-akan siap menerjang.
Awalnya aku mengira pasti ada masalah serius di mata aku. Oleh karena itu, aku bertekad untuk segera check up mata sebelum benar-benar terlambat. Dan memang sejak lama aku memilih Lampung Eye Center untuk merawat mataku. Namun, ketika check up pertama kali justru dr. Ar pun belum bisa mendiagnosis masalah di mataku. Sehingga mengharuskan aku rawat inap untuk dilakukan observasi.
Hal itu saja sudah di luar prediksi. Aku mengira sekali check up langsung dapat diagnosis dan kemudian melakukan pengobatan: operasi. Akan tetapi, sampai tulisan ini dibuat masih menunggu hasil diagnosis. Anyway, beberapa jam lalu baru selesai MRI (ini kita bahas di episode selanjutnya). Bahkan aku harus melalui proses dua kali rawat inap. Perubahan ini terlalu cepat untuk aku. Dan sampai saat ini aku pun masih beradaptasi dengan perubahan.
Mulai dari check up, rawat inap di Lampung Eye Center, kemudian pulang, dirujuk ke rumah sakit Urip Sumoharjo dan konsultasi kembali dengan dr. Ar, dan sekarang harus dirawat inap lagi untuk di-MRI. Semua itu terjadi begitu cepat dalam dua pekan. Aku tidak overthinking terhadap hasil penyakitnya nanti akan seperti apa. Lebih ke prosesnya yang Ternyata tidak permah terbayangkan dalam hidup.
Ada kala ketika aku ingin menghentikan yang sudah aku mulai. Namun, kalau dipikir-pikir lagi rasanya tidak etis dan tidak profesional sebagai pasien newbie. Ditambah dr. Ar sudah membuat surah rujukan ke RS Urip. Kalau kata Eka, “Lo itu istilahnya udah ditandain sama dokternya, Yup.”
Sebetulnya aku cuma butuh validasi secara verbal saja kalau keluarga aku tidak apa-apa direpotkan. Dan aku mencoba menyampaikan dilematika ini ke grup keluarga aku. Aku mengirim pesan, “Mbak, sebenernya gua ini bingung. Langkah yang gua ambil ini bener atau enggak. Niat awal gua kan cuma mau benerin mata aja biar seenggaknya meminimalisir gangguannya. Cuma kok malah hasil diagnosisnya sampe sekarang aja masih belum tau apaan, sampe mesti MRI, rawat inap dua kali. Bingung aja gua kok jadi begini.”
Dan intinya mereka sangat tidak masalah untuk direpotkan dalam hal ini. Mereka mengungkapkan bahwa tugas keluarga kandung memang wajib seperti itu. Mereka herpesan kepadaku untuk fokus bertobat dan jangan memikirkan mereka yang sehat.
Sebetulnya aku paham konsep bahwa kadang tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Kita sebagai manusia boleh saja memilikimu ekspektasi, tetapi manusia juga harus memahami konsep realitas yang berbeda. Barangkali bukan karena realitas dan keadaan tidak berpihak, melainkan Tuhan sedang menyiapkan kebaikan untuk kita.
Posting Komentar