KOMUNIKASI jadi hal paling menakutkan. Aku pernah ada di masa komunikasi menjadi momok. Buksn perasaan malu dan enggak percaya diri, melainkan sebuah ketakutan. Aku takut apa yang aku bicarakan membuat orang lain enggak nyaman. Aku enggak berani bersuara karena satu kata yang terucap terdengar menjijikkan. Oleh karena itu, aku meyakini bahwa enggak akan ada seseorang yang mau mendengarkan aku.
Iya, pasti ada pemicunya, bukan tanpa alasan. Hanya saja, aku masih belum tahu pasti penyebab yang mendasarinya. Namun, semua ketakutan itu sudah luruh bersama rasa malu dan enggak percaya diri. Aku mulai berani untuk speaking karena menyadari bahwa aku enggak seburuk itu, kok. Betapa aku juga layak untuk didengarkan.
Aku buktikan dengan mencoba rutin belajar public speaking yang diunggah di akun TikTok. Namun, aku merasa belum cukup karena aku butuh lawan bicara untuk memastikan apakah cara aku berkomunikasi dengan orang lain sama baiknya? Sebab, selama ini aku hanya berinteraksi melalui pesan online.
Sampai suatu ketika, ceritanya aku mau mendampingi talent untuk simulasi event. Namun, dikarenakan si talent berhalangan hadir, simulasi berubah jadi komunikasi yang interaktif di room Google Meeting. Waktu itu aku berdiskusi dengan Kak Nisa dan Kak Suro. Namun, Kak Suro izin left dan menyisakan aku dan Kak Nisa. Unexpected, kami berkomunikasi kurang lebih dua jam.
Finally, ada juga momen yang memvalidasi bahwa aku bisa berinteraksi secara langsung meski online dengan pembahasan yang cukup berkonteks—bukan basa-basi. Akan tetapi, catatannya adalah aku harus berwawasan luas. Sebab, komunikasi dengan Kak Nisa beberapa waktu lalu sangat seru karena aku bisa bertanya soal pengalaman dan kultur Jepang dengannya—Kak Nisa saat ini bekerja sebagai perawat di Jepang.
Dan, aku mau berbagi beberapa hal penting tentang seni berkomunikasi.
Seni Berkomunikasi: Bukan Tentang Aku atau Kamu, melainkan Kita
Sebetulnya dalam sehari-hari pun kita sudah secara otomatis berkomunikasi dengan seseorang di sekitar kita. Mulai dari hal yang sepele sampai penting. Sesederhana menyapa atau meminta bantuan. Meskipun komunikasi enggak hanya berlaku secara verbal, bisa juga berupa tindakan atau gestur. Setiap orang punya cara sendiri dalam berkomunikasi.
Walaupun komunikasi merupakan kebiasaan, tetapi masih banyak orang yang enggak memahami esensi komunikasi. Komunikasi merupakan salah satu aspek life skill yang harus dimiliki semua orang. Jangan tentang public speaking atau retorika dalam berpidato dulu, deh. Mulai dari hal mendasar dalam berkomunikasi. Sebab, masih banyak orang salah kaprah dalam melakukan komunikasi.
O, iya, di sini kita akan membahas komunikasi interaksi dan juga diskusi, ya.
Komunikasi yang baik adalah ketika kedua belah pihak atau lebih saling berinteraksi. Enggak menguasai ruang berkomunikasi untuk dirinya sendiri. Komunikasi itu tentang kebersamaan, bukan keegoisan. Kalau masih mengedepankan ego dalam ruang komunikasi, sebaiknya mundur, deh. Bagaimana agar ada pesan dan suasana menyenangkan yang dibawa pulang setelah berkomunikasi.
Berempati
Perlu dipahami bahwa dalam berkomunikasi, tentunya bukan hanya terdiri dari diri kita sendiri. Komunikasi membutuhkan dua orang atau lebih untuk bisa saling berinteraksi. Jika dalam ruang komunikasi hanya ada satu yang egois dan enggak memikirkan orang lain, itu bukan komunikasi. Kita mulai belajar berkomunikasi dari hal dasar yaitu empati.
Mungkin kamu pernah atau punya teman yang ketika diajak ngobrol, tetapi enggak bisa berempati. Setiap hal yang kamu bicarakan. Setiap kata yang kamu ucapkan. Dia selalu memutar arah obrolan ke dirinya sendiri. Padahal, kamu sudah mendengarkan cerita dia dari awal sampai akhir dan bahkan kamu memberi feedback.
Contoh lain lagi. Ketika kamu sedang bercerita, tetapi orang yang kamu ajak bicara justru menghakimi. Tentunya kamu enggak akan nyaman berada di situasi seperti ini. Sebab, kadang-kadang kita bercerita hanya untuk didengarkan, bukan untuk diberi nasihat atau bahkan dihakimi. Apa perannya lagi ketika cerita kita dijadikan ajang untuk mengadu nasib tentang siapa yang paling menderita. Sering terjadi, bukan?
Semua itu terjadi dikarenakan enggak ada empati. Orang yang Berempati mampu membersihkan diri dalam berkomunikasi. Berempati membantu kita untuk memahami emosional orang lain.
Ketika kita mengalami kesulitan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan karena kurang relevan. Sikap yang bisa kita ambil adalah diam atau memberikan gestur kecil seperti mengelus pundak atau mengangguk. Ini juga merupakan cara berkomunikasi yang efektif dengan berempati. Catatannya semua itu harus dilakukan dengan tulus.
Give Feedback
Komunikasi kurang menyenangkan ketika enggak ada interaksi di dalamnya. Jika dalam komunikasi interaksi hanya dilakukan oleh satu orang dan yang lainnya hanya bertanya. Itu namanya sesi tanya jawab, bukan komunikasi. Komunikasi yang baik adalah ketika kedua belah pihak atau lebih memberikan timbal balik yang setara.
Misal ketika teman sedang bercerita atau memberikan sebuah perspektif. Kita perlu memberikan timbal balik berupa tanggapan dan juga respon secara aktif. Seringkali komunikasi terjadi setengah-setengah. Ketika teman bercerita, kita malah memotongnya dengan mengoordinasi. Ketika teman memberi perspektif, kita mah menginterupsinya dengan nyolot. Kata-kata member bicara, kita hanya menanggapi dengan oh atau iya juga tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Hal tersebutlah yang membuat komunikasi terasa hambar karena nggak ada respon berkelanjutan atau bahkan bercabang sampai membahas topik lain. Akan tetapi, tentunya kita perlu menyelesaikan satu topik terlebih dahulu baru ke topik lain. Kita perlu menyelesaikan cerita lawan bicara kita terlebih dahulu baru kita memulai cerita kita. Kita perlu membiarkan lawan bicara memberikan sudut pandang, baru kita memberikan perspektif dan juga alasan tanpa ambisi akan pembenaran.
Mendengarkan
Masih banyak orang yang enggak mengetahui bahwa dalam berkomunikasi pun ada perannya. Pada dasarnya, kita sebagai manusia memang selalu ingin didengarkan. Akan tetapi, dalam beberapa kondisi bukan hanya kita yang ingin didengarkan, melainkan ada orang lain yang juga ingin didengarkan. Mungkin ketika kita ingin mengekspresikan perasaan kita kepada orang lain dengan bercerita dan di saat yang bersamaan kondisi kita enggak bisa dengan baik menerima cerita orang lain. Dalam hal ini kita memang perlu sosok yang betul-betul ingin hadir sebagai pendengar yang baik.
Peran dalam berkomunikasi bukan hanya diri kita sebagai pencerita, melainkan juga peran diri kita sebagai pendengar yang baik. Menjadi pendengar yang baik memang bukan hal mudah. Mendengarkan berarti kita membuka diri untuk menerima emosi dari si pencerita. Menjadi pendengar yang baik berarti kita mampu berempati dan enggak menghakiminya. Menjadi pendengar yang baik adalah ketika kita mau untuk mencoba memahami dan mengerti meskipun enggak relevan.
Komunikasi bukan hanya tentang diri kita sendiri, melainkan juga orang lain. Komunikasi bukan hanya peran diri kita untuk berbagi cerita anda. Akan tetapi, kita juga perlu belajar untuk menerima dan mendengarkan cerita orang lain. Betapa beruntung menjadi pendengar yang baik karena dari situ kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dan peningkatan kecerdasan emosional kita.
APALAH arti sebuah hubungan sosial ataupun intim tanpa adanya komunikasi. Akan tetapi, apalah komunikasi tanpa adanya rasa menghargai. Menghargai merupakan dasar dari segala dasar, merupakan fondasi dari segala fondasi yang ada dalam komunikasi. Komunikasi tanpa adanya rasa menghargai atau respect, pada akhirnya komunikasi akan gagal juga.
Posting Komentar