Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

My Journeyeling Eps. 2: Ternyata Ikhtiar itu ... Sulit

My Journeyeling
[WARNING: Tulisan ini bertebaran saltik, belum melalui proses swasunting karena belum bisa]

KUBUKA mata, menoleh ke kanan dan menyibak sedikit tirai. Pelan-pelan, cahaya matahari pagi malu-malu memasuki ruangan rawat inap. Suara deru kendaraan bermotor menjadi senandung syahdu di tengah sunyinya ruangan. Dunia di luar sana tidak berubah, tetapi ketika kubuka mata, alur cerita sudah berubah. Premis baru kehidupan mulai memasuki babak rintangan.

Sudah dari lama aku memprediksi bahwa semuanya akan baik-baik saja, akan parah. Jadi, aku telah mempersiapkan diri untuk menerima segala realitas. Apa pun hasilnya nanti, Aku tidak akan overthinking. Aku paham betul betapa overthinking akan memperburuk suasana. Maka, tidak ada jalan lain yang bisa kulakukan selain menghadapi. Sebab, bagaimanapun aku telah mengambil tindakan dan langkah untuk pengobatan mata. 

Alih-alih memikirkan hasil diagnosis yang sampai tulisan ini dibuat (Minggu, 27 April 2025 11.49 WIB). masih belum keluar. Aku lebih memikirkan betapa aku sangat merepotkan keluargaku. Dari awal sebetulnya aku sudah tahu bahwa aku akan merepotkan mereka. Maaf, ya, karena untuk sementara ini Vina harus merepotkan kalian semuanya. Harus izin kerja, bolak-balik, menemaniku 24 jam. Keluarga memang orang-orang yang spesial. Suatu hari aku akan betul-betul akan membalas budi Mereka. 

Life still goes on as usual, but the storyline has changed

•••

Rabu, 23 April 2025. 

Bangun tidur, aku mulai mempersiapkan diri. Packing baju-baju untuk dibawa ke LEC. Setelah seharian berpikir dan semalam berembuk dengan Mbah Om Wan, serta mendengarkan penjelasan Sandi—salah satu perawat di LEC dan tetangga di rumah lama (pedal, haha)—tidak ada jalan lain selain rawat inap. Tujuannya untuk melakukan observasi terkait, what happened to my eyes? Mencari tahu diagnosisnya apa dan bagaimana? 

Sebetulnya ada dua opsi yang ditawarkan oleh dr. Ar (Arianty) selaku dokter spesialis mata: rawat inap atau rawat jalan. Namun, memang lebih efektif rawat inap karena setiap hari akan dicek dan konsul langsung dengan dokternya. Obat saat rawat inap pun lebih efektif: obat tetes dan obat suntik. Sementara, rawat jalan akan jarang bertemu dengan dokter dan ketika obat minumnya habis harus minta surat rujukan lagi ke puskesmas. Membayangkannya sudah cukup rempong. 

Dalam percakapan Sandi dan Mbak Vela, aku mendengarkan betul bahwa masalah mataku terdapat di bagian dalam: retina dan saraf. Oleh karena itu, pada hari kemarin di tanggal 22, dr. Ar merujuk aku ke dr. Lili selalu dokter spesialis saraf dan mata untuk diperiksa lebih jauh lagi. Aku, sih, oke-oke saja dan mengikuti prosedur yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Lagi pula, dr. Ar ini tipe-tipe nyablak, tetapi beliau amat baik. Sampai detik ini aku masih tidak paham, mengapa banyak sekali orang baik di sekitar aku, ya?

Singkat cerita aku dan Mbak Vela menuju LEC, letaknya tidak begitu jauh dari rumah tanteku. Aku lebih banyak duduk di ruang tunggu karena yang mengurusi berkas Mbak Vela—ya, lagi-lagi dia absen dari kantor sebentar). Aku sempat dipanggil untuk menekan sidik jari jempol pada sebuah alat bulat—aku tidak tahu namanya spa—dan dilingkarkan sebuah gelang khusus rawat inap pada pergelangan tangan kanan. Well, now I’m a patient for the first time. Rasanya campur aduk, but let’s to face it!

Tiba saatnya aku diantar ke ruangan rawat inap, letaknya di lantai dua. BPJS aku sebetulnya masuk di kelas dua, tetapi karena ruangan kelas dua sedang penuh aku sementara diletakkan di kelas tiga. Namun, ruangan kelas tiga jauh lebih nyaman dan sepi daripada ruangan kelas dua yang agak panas dan ramai. Jadi, sampai hari pulang rawat inap aku tetap di ruangan kelas tiga. Apa lagi dapat kasur paling pojok dekat jendela. 

Aku langsung diinfus dan diambil darahnya, selanjutnya diberi obat tetes mata. Jujur, setelah diberi obat tetes mata aku menangis karena rasanya pedas dan perih betul, jadi agak kaget. Akan tetapi, selanjutnya aku sudah terbiasa dan tidak ada drama-drama mengeluarkan air mata. Cukup syok sebetulnya, ternyata begini, ya, rasanya dirawat. Masih adaptasi juga karena suntikan infus yang masih terasa menusuk-nusuk. 

Yaa, hari itu berjalan cukup sunyi dan dingin karena AC tepat di atas jendela samping kasur. Siang itu, Mbak Vela langsung kembali ke kantor. Aku tinggal menunggu Denis datang untuk menemani dan membantuku selama dirawat. Ketika itu sebetulnya ada empat kasur dan sudah diisi oleh kalau tidak salah dua pasien dan ditambah aku. Jadi, aku tidak betul-betul sendirian dan tinggal menunggu Denis saja untuk datang. 

Singkat cerita, malam-malam setelah Mbak Vela pulang dari membawa keperluan seperti tisu, odol, sikat gigi, minuman, dll, sekitar pukul 21 malam aku melakukan cek mata dan malam itu langsung konsul ke dr. Lili. Ketika itu ditemani Denis dan Sandi. Jadi, ada beberapa tahap pengecekan: menemui ke ruangan dokter, cek tekanan bola mata, pengecekan mata secara langsung, foto mata, dan dicek lagi menggunakan kamera dr. Lili. 

Ketika memasuki ruangan dokter. Di sana sudah sda dr. Lili dan mulai bertanya, “Gimana keluhannya?”

Aku menjawab sesuai dengan yang aku jelaskan ke dr. Ar, “Jadi, di sebelah mata kanan aku ini ada bola hitam cuma masih bisa lihat di bagian putihnya, cuma enggak fokus. Sementara mata kiri aku kabur dan agak buram, susah fokus.”

dr. Lili mengangguk dan kembali bertanya, “Udah sejak kapan?”

Aku membalas, “Sekitar tiga tahun belakangan, Dok.”

Setelah itu aku dibawa untuk cek tekanan bola mata. Dan, melakukan pengecekan mata secara langsung oleh perawat seperti ditutup mata kiri kemudian disuruh menjadwalkan ini angka berapa? Tangan saya sedang ngapain? Begitu pun dengan mata kanan. Selanjutnya, melakukan pemotretan mata. Pada episode sebelumnya sudah sedikit menjelaskan tentang tahap ini. Sebetulnya, perawatnya kali ini beda orang dan meminta perawatan yang kemarin aku memotret mata kanan aku yang susah sekali fokus. Butuh waktu sekitar 5-10 menitan perjuangan untuk memotret mata kanan yang bermasalah ini. Jujur, bagian ini terasa kena mental. 

Setelah itu aku kembali menunggu untuk menemui dr. Lili karena masih ada pasien lain yang konsul. Selama menunggu aku diberi obat tetes mata sebanyak tiga kali. Kata Sandi, sih, untuk membesarkan pupil atau bola mata karena akan dicek langsung menggunakan kamera dr. Lili. Beberapa menit antre, akhirnya aku dipanggil dan dicek. Tidak lama dr. Lili memberikan hasil rekaman mataku dan juga saraf. Ini bukan diagnosis penyakit, ya, lebih ke kondisi mata dan saraf. 

dr. Lili menjelaskan, “Jadi, ada pembengkakan di otak yang membuat retina kamu ini menipis. Sehingga penglihatan kamu menurun. Dan, itu emggak bisa kita apa-apain. Kemungkinan kami akan rujuk kamu ke dokter yang lebih paham yaitu ke Palembang atau ke Jakarta.” Tidak sampai di situ dr. Lili juga melanjutkan, “Ada beberapa kemungkinan nya: tumor otak, autoimun, adanya tekanan di otak, atau radang/infeksi.”

Permasalahannya adalah aku tidak merasa sakit atau nyeri di area kepala atau mata sama sekali. Ya, biasa-biasa saja, paling yang agak bermasalah hanya mataku yang susah melihat, tidak lebih. Aku menerima berapa kemungkinan tersebut dan, ya, ini bukan hasil diagnosisnya, masih kemungkinan. Harusnya, sih, bukan tumor otak, kan, ya?

•••

Kamis, 24 April 2022. 

Aku bangun pukul 5 pagi. Anyway, aku dan Denis tidur satu kasur. Jadi, kaki aku di kepala dia, begitu pun sebaliknya. Masalahnya, tidak tega kalau dia disuruh tidur di bawah, dinginnya menggigil. Sekitar pukul 6, aku dipanggil ke bawah untuk menemui dokter umum. Aku tidak tahu namanya siapa, yang jelas dia cowok. Seperti biasa aku dicek tekanan bola mata, melakukan pengecekan langsung oleh perawat, untungnya, sih, sudah tidak perlu pemotretan mata. Dan, langsung menemui dokter umum di ruangan periksa dokter. Di sana dokter kembali menanyakan keluhan dan dicek mataku melalui kamera dokter. Aku pun menjawab hal yang sama seperti biasanya. 

Dokter umum tersebut mengatakan, “Ada rasa rasa sakit atau nyeri di kepala atau area mata?” Dan, aku pun menjawab tidak ada sama sekali. Beliau kembali melanjutkan, “Ya, kemungkinan ada radang/infeksi atau ada tekanan di otak. Kalau radang/infeksi nanti ada obatnya. Nah, kalau kemungkinan lain perlu pengobatan khusus, operasi. Mesti dirujuk ke Palembang atau ke Jakarta.”

Aku hanya mengangguk-angguk karena hal itu semalam sudah disampaikan oleh dr. Lili. Aku kembali bertanya terkait apakah ada kemungkinan menyebar dan makin parah? Dokter umum tersebut menjelaskan, “Nah, kalau untuk itu saya belum berani bilang. Kita tunggu diagnosisnya seperti apa.”

Sorenya aku kembali ke ruangan dokter menemui dr. Ar untuk dicek kembali perkembangannya. Aku bertanya, “Jadi, gimana hasil diagnosisnya, Dok, belum keluar, ya?”

Sambil bercanda dr. Ar menjawab, “Kamu, sih, datengnya pas udah nemenin, bikin saya pusing aja!” 

Aku, sih, senyum-senyum saja. Yaa … ada perasaan tidak enak, ya. Namun, mau bagaimana lagi? Intinya, ketika itu dr. Ar merujuk aku ke rumah sakit Urip dekat sini untuk melakukan CT Scan lebih mendalam. Beliau bilang, “Kamu saya acc karena biasanya tidak semua saya acc.”

Jujur, setelah menemui dokter umum tadi pagi, aku merasa agak pusing seharian. Mungkin karena kepikiran. Aku mengabarkan informasi ini ke grup keluarga dan ke Mama (tanteku). Guess what? Beberapa lama kemudian, Mamaa mengirim pesan WhatsApp, “Vina besok minta plg aja ya besok. Gak usah lama2 yaitu. Gak pusing khan vina nya.”

Malam itu Papa (Omku) langsung menjenguk aku dan menindaklanjuti perkara “pulang aja”. Kebetulan saat itu Mbak Dian (Mbak pertamaku) datang menjenguk. Mbak Dian sempat menemui dokter untuk memanjakan kondisi aku. Mbak Dian dan Papa cukup berdebat soal ke depannya terkait pengobatan mata aku. Intinya, Papa mempertanyakan kalau tumor otak tindak lanjutnya apa? Dan kalau autoimun tindak lanjutnya apa? Sampai-sampai Sandi harus datang untuk menjelaskan semuanya ke Papa. 

Akhirnya, Papa memahami dan menerima. Pesannya, “Berarti Senin CT Scan, ya? Kalau disuruh MRI tolak aja, ya, soalnya efeknya bisa ke otak.”

Begitulah. Jujur, aku merasa terharu karena Mereka sangat peduli soal aku ke depsnnya, terkait risiko dan konsekuen yang sudah aku ambil. Di sisi lain, aku merasa merepotkan banyak orang. Mulai dari keluarga, Sandi yang mau bantuin jelasin ke Mbak Vela terkait kondisi aku setiap harinya. Bahkan dr. Ar yang baiknya baik banget. Keadaan begini memang rentan bikin overthinking. Jujur, aku lebih overthinking karena merepotkan keluargaku daripada soal tumor otak dan kemungkinan lainnya. Namun, Aku mencoba menghibur dan berpesan kepadaku untuk tetap fokus dan pengobatan ini.

Malam itu, ruangan hanya ada aku dan Denis. Pasien lagi sudah dibawa ke ruang operasi semua. Cukup nyaman karena kami bisa tertawa-tawa dan malam itu Denis full menghibur dan Mbak Vela full stand up comedy di grup keluarga perkara Denis sibuk lapar. 

•••

Jumat, 25 April 2025. 

Pagi-pagi lagi aku dipanggil ke bawah. Cek tekanan bola mata dan kali ini cek gula, 120. Kata perawatnya sih bagus dan normal. Setelah aku cek di Google ternyata itu bukan normal dan mengarahkan pre diabetes. Ya, agak bandel memang diri ini. Setidaknya ini cukup jadi warning untuk aku lebih memperhatikan pola makan. Kemudian aku menemui dr. Ar untuk dicek mata lagi. Setelah itu kami kembali ke ruangan inap. 

Per hari ini, mulai rajin dikasih obat suntik. Serius, adegan diberikan obat suntik ini rasanya sakit banget. Sehari bisa enak kali suntik. Bayangin, disuntik di tempat yang sama berkali-kali. Dilukai di tempat yang sama berkali-kali. Seperti kita mencintai orang berkali-kali, tetapi berkali-kali pula patah hati. Sakit, nyeri, ngilu, perih, pegal. Setiap habis disuntik selalu menangis karena, ya, sakit banget.

Paling bete, nih, abis Isya disuntik dua kali. Langsung aku bawa tidur sambil menangis. Tiba-tiba dibangunin pukul 23-an, disuntik lagi, kayak ya Allah, serius ini sakit banget. Akhirnya tidur dan menangis lagi. Gitu aja terus sampe besok. Akhirnya, besok Sabtu aku pulang dan Senin harus kembali berjuang lagi.

•••

Sabtu, 26 April 2025. 

Pagi-pagi dipanggil ke bawah lagi. Kali ini hampir berantem sama Denis karena dia agak lama persiapannya. Sementara aku orangnya sat set dak harus ke bawah. Ya, mau tidak mau kami ke bawah dengan suasana hati yang agak kurang baik. Aku dicek tekanan bola mata dan katanya normal. Aku bertanya apakah semua ini artinya aman? Perawatnya menjawab, “Nah, itu tidak selalu aman. Kemungkinan glukoma, cuma bisanya kalau glukoma tekanan bola matanya tinggi. Kita tunggu hasilnya saja, ya, nanti.”

Setelah itu kembali ke ruangan rawat inap dan disuntik, nangis lagi. Huhu. Ikhtiar kenapa berat banget, ya?”

•••

Belajar ikhtiar memang tidak semudah itu. Ketika aku harus mendengarkan kemungkinan tumor otak, autoimun, radang/infeksi, atau kemungkinan lainnya yang lumayan mengkhawatirkan. Awalnya aku berpikir mungkin ini glukoma. Namun, kok, makin ke sini makin meresahkan. Aku berharap semua ini tidak terlalu serius dan membahayakan diri aku. 

Aku sudah cukup bersyukur karena prosesnya dilancarkan. Terlalu sat set untuk aku yang selalu deg-degan menunggu setelah ini harus ngapain? Sekarang aku sedang menunggu hari esok Untuk melakukan CT Scan. Apa pun hasilnya, aku terima. Hanya saja, please, udahan dong ngasih obat suntiknya …. Sakit tahu! 

Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar