INHALE … exhale …. Jujur, rasanya sudah tidak ada gairah lagi untuk melanjutkan tulisan My Journeyeling. Bukan hanya itu, pun rasanya enggan sekali melangkahkan kaki untuk lanjut ikhtiar. Memang dasar si pesimis, kalau tidak sesuai ekspektasi langsung merasa si paling menderita. Merasa seakan-akan tidak ada harapan lagi. Itulah buruknya aku. Sebuah keburukan yang menghambat untuk melaju.
Setelah pertemuan dengan dr. Canggih lalu. Dokter spesialis penyakit dalam tersebut kembali memintaku untuk konsultasi kepada dr. Ar. Setelah pulang dari dr. Canggih, aku betul-betul berniat untuk setop. Berhenti dari pengecekan yang entah apa penyakitnya. Iya, aku paham, kalau aku berhenti, aku tidak akan tahu penyebab masalah mataku.
Cuma, aku dilema. Aku tahu, tidak ada kata merepotkan untuk keluarga. Akan tetapi, entah mengapa aku merasa berat dan terbeban karena merepotkan keluarga. Belum lagi masalah tes autoimun yang tidak semuanya dikover BPJS. Jangan ditiru, ya, sifat pesimis ini. Aku berusaha meyakinkan diri. Pun, keluarga aku juga mengatakan “tidak apa-apa” jika aku berhenti. Ya, sedikit kecewa karena … harusnya mereka keep me to next step, kan? Lagi-lagi jangan ditiru mindset labil ini -,-
• Why No One Cares? •
Ketika kembali konsultasi ke dr. Ar pada 23 Mei 2025 lalu, dr. Ar menyarankan untuk rujuk ke RSUD Abdoel Moeloek. Di sana aku sempat mengutarakan soal biayanya. Dan, beliau berkata, “Iya, kalau masalah itu coba aja dulu ke sana. Namanya juga, kan, ikhtiar. Saya sudah bukakan jalan untuk kamu.”
Rasanya berat banget. Kayak ada beban yang makin menumpuk. Bingung cara mendeskripsikan perasaan yang terlalu campur aduk. Seperti gumpalan yang menumpuk, merangkak perlahan-lahan Mamuju tenggorokan. Anyway, aku konsultasi ditemani Endan. Dan ada satu surat rujukan ke RSUDAM yang harus dicap. Cap itu sebagai bentuk ACC resmi dari RSUS. Sampai sekarang surat itu masih belum dicap karena aku masih menimbang-nimbang.
Setelah dari ruangan dr. Ar mengurus beberapa berkas di loket perawat. Sebelum Endan menuju loket perawat, aku sempat menahannya. Aku merasa bimbang dan khawatir. Aku berujar, “Ndan, ntar dulu. Ini gimana? Mau dilanjut? Biayanya gimana?”
“Ya udah, sih. Dokternya, kan, udah bukain jalan buat lu. Kalo lu mau sembuh, ya, udah lanjut. Kalo lu enggak mau sembuh, ya,.udah enggak usah.”
Beban yang rasanya sudah berat, makin ditumpuk beban yang jauh lebih berat lagi. Mulutku terkatup, tidak berani bicara apa-apa lagi. Kedengarannya seperti menusuk hati bertubi-tubi. Gumpalan perasaan yang tadi merangkak, kini kuhadang di atas tenggorokan. Genangan air mata aku tahan agar tidak menjelma butiran air yang membasahi pipi. Perkataan itu tadi banyak sekali maknanya.
Aku paham, dia kesal karena sikapku yang terkesan ogah melanjutkan pengecekan. Kemudian, aku merasa dia tidak begitu peduli (meski ada sedikit kepedulian) soal aku mau lanjut atau tidak. Bukan berarti aku tidak tahu diri, bukannya aku tidak menghargai upayanya beberapa kali menemaniku. Namun, bukan itu poinnya. Bukan itu yang aku mau dengar ….
Aku tahu kalau aku pesimis. Aku sadar aku khawatir ke depannya akan makin membuat aku terbebani. But, I need a support system. Di sisi lain, aku butuh diyakinkan. Di sisi lain, aku butuh penyemangat. Di sisi lain, aku butuh validasi kalau semua yang kujalani ini adalah proses yang tidak mudah. Aku berharap keluarga mau nge-push aku untuk tetap ikhtiar. But, why don't I get it? Hal ini membuat aku merasa makin terbebani karena aku telah menjadi beban orang lain. Namun, kalau bukan mereka, aku tidak tahu harus meminta tolong temani kepada siapa lagi?
Aku berusaha memahami, mereka pasti punya alasan. Dan, aku harus memakluminya. Tadi siang sambil beberes aku mendengarkan podcast. Deep Talk with Introvert dalam episode 12 berjudul cara menemukan support system. Ketika mendengarnya, seketika aku terhenyak. Dari apa yang aku alami dan dari podcast tersebut. Aku makin menyadari, ternyata aku masih berharap kepada manusia, and it's a big wrong. Maksudnya adalah aku harus mengendalikan harapan dan cara berpikir aku yang salah. Betapa aku tidak seharusnya butuh diyakinkan oleh orang lain. Aku hanya membutuhkan diri aku untuk meyakinkan diriku sendiri.
Setiap orang punya cara sendiri dalam memberikan rasa peduli. Dan Keluarga aku mungkin bukannya tidak peduli, melainkan bisa jadi mereka butuh proses mencerna, bingung, dan menyerahkan keputusan di aku. Toh, mereka pun tidak tahu betul apa yang aku inginkan—soal betapa aku butuh diyakinkan. Aku hanya menyimpan keinginan tersebut dalam harapan, harapan semu yang akhirnya mengecewakan diri aku sendiri. Alvi dan Ardhi dalam podcast tersebut menyampaikan, “Allah it's enough.”
Tidak semua orang—termasuk keluarga harus sesuai dengan apa yang kita mau. Pun, bagaimana orang lain mau mengerti kemauan atau keinginan kita kalau kita hanya diam dan berharap orang action atas inisiatif mereka? Setiap orang punya kepentingannya sendiri. Dunia ini, kehidupan ini, tidak semuanya tentang kita.
And, the best support system is Allah.
• So, What Next? •
Hari Jumat tanggal 16 Mei, sore-sore ketika turun hujan. Aku tidak mau membuang-buang kesempatan untuk memanfaatkan momen; berdoa. Sederhana, aku hanya berdoa kepada Allah semoga konsul tanggal 19 diketahui penyakitnya sehingga bisa masuk fase pengobatan. Untungnya aku selalu mengakhiri doa tersebut dengan meminta Allah memberikan aku kesabaran dan ketabahan dalam menjalani proses. So, seperti yang sudah aku ceritakan di episode sebelumnya. Dokter belum bisa mendiagnosis penyakit aku.
Inhale … exhale ….
Di saat yang bersamaan aku sedang membaca buku Soul Healing Therapy. Anyway, aku juga baru memulai bacanya di tanggal 19 tersebut. Guess what? Aku memang tidak mendapatkan pemantik dari orang lain. Namun, melalui rangkaian kata yang dikemas dalam buku, Irma Rahayu penulisnya berhasil memantik dan menjadi penyemangat aku untuk memutuskan: lanjut check up. Buku ini di saat yang bersamaan mampu menjadi penasihat, penegur, dan pendengar yang baik. Buku ini seperti tahu kejadian dan kebimbangan yang sedang aku alami.
Aku tahu ini bukan kebetulan, melainkan Allah sedang memberikan petunjuk.
Ada satu hal yang mengubah perspektif aku: bahwa doa memiliki konsekuensi. Selama ini aku hanya paham konsep betapa Allah pasti mengabulkan doa hamba-Nya, kecuali itu adalah hal yang terbaik. Allah knows best. Akan tetapi, aku tidak pernah menyadari bahwa doa pun memiliki konsekuensi. Apa maksudnya? Konsekuensi itu bukan sesuatu yang buruk dan bukan sesuatu yang harus diikuti, ya.
Maksudnya adalah doa kita sudah pasti Allah dengarkan. Bagi doa yang terkabul, Allah memberikan konsekuensinya. Mengapa Allah memberikan konsekuensi? Supaya kita menghargai proses dan tetap mengingat-Nya. Jangan apa-apa maunya instan, Allah mau kita belajar sabar dan belajar berusaha. Sesuatu yang kita dapatkan akan jauh lebih bermakna jika memiliki proses yang tidak mudah, kan? Proses instan hanya membuat keberhasilan tidak bermakna.
Aku mengorelasikan perspektif dari buku tersebut terhadap apa yang aku alami. Aku mulai bertanya-tanya dan menyadari.
Bagaimana kalau ternyata Allah mendengarkan doaku dan sedang mengabulkan doaku? Konsultasi yang masih belum menemukan titik terang soal penyakitku adalah salah satu konsekuensi yang harus aku hadapi. Kemudian untuk mencapai keinginan dan mengabulkan doaku, Allah meminta aku untuk melalui proses atau tahapan; tes untuk mendeteksi autoimun. Allah meminta aku untuk belajar sabar dulu, ya, pelan-pelan.
Bukan hanya dari buku tersebut. Belakangan ada tiga hal lain yang membuat aku yakin untuk melanjutkan check up.
Pertama, video animasi Tekotok yang judulnya Nasibnya Sentot. Podcast Deep Talk with Introvert, dan curhatan teman aku. Tiga hal ini terjadi hanya dalam rentang waktu dua hari, hitungan 24 jam kurang. Ketiganya sama-sama memberi tahu bahwa kita harus belajar melakukan segala hal karena Allah.
Dan, kenapa aku tidak melakukan check up dan ikhtiar Journeyeling ini karena Allah? Memang, sebelumnya motivasi aku berobat mata adalah karena urusan duniawi: pengin jadi penulis yang bisa ekspor ke mana-mana. Sebetulnya positif, kok, tetapi ternyata motivasi tersebut tidak cukup kuat untuk menopang diriku bertahan pada proses. Lantas, aku sekarang mencoba mengubah motivasi aku berobat mata adalah karena Allah.
Bisa jadi Allah sedang memberikan support melalui empat perantara: buku, video animasi, podcast, dan curhatan teman. Memang sudah paling betul bahwa Allah adalah support system terbaik. Allah it's enough. Allah Maha Kaya. Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Dan Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.
Kak bigg hugg😭😭 aku yakin Allah pasti bantu
BalasHapus