JUMAT lalu tanggal 16 Mei, tepatnya sore hari ketika hujan sedang turun. Omong-omong tahun ini banyak hujannya, ya? Padahal kita sudah akan masuk musim kemarau—atau sudah, ya? Semoga menjadi berkah baik untuk kita semua, ya, begitu pun untuk aku. Aku yakin suatu hari akan ada berkah baik setelah ikhtiar yang panjang.
Sebagai umat muslim, kita pasti sudah tahu dengan hadis doa mustajab: di hari Jumat, sore hari, dan ketika hujan turun. Tentunya momen itu tidak mungkin aku lewatkan. Maka aku memejamkan mata dan berdoa dalam gumam, “Ya Allah, semoga konsul hari Senin nanti penyakitnya langsung ketahuan. Berikan hamba ketabahan dan kekuatan dalam menjalani ujian-Mu, Ya Allah.”
Aku mengembuskan napas dan berserah, setelah itu kubuka mata. Lusanya hari Minggu, setelah salat Isya aku pun terus berdoa yang sama. Sudah hampir satu bulan, aku sampai-sampai merasa lelah yang kebas. Seperti menunggu, tetapi tidak menunggu. Hanya berdiam diri saja, menjalani hari saja, apa pun yang terjadi dan bagaimanapun begitulah hidup.
Bicara soal hidup, omong-omong sebelumnya aku baru ingat. Seorang teman, panggil saja Kak Ed, mengirimkan tautan video YouTube tentang cara melepaskan emosi. Ketika aku buka, seorang perempuan manis berkacamata menjelaskan terkait hidup itu sendiri. Satu kalimat yang melekat dan membuat aku sadar adalah dia berucap, “Hidup itu berjalan seperti adanya.”
Keningku berkerut ketika mendengarkan ucapan tersebut. Perempuan itu juga memberikan analogi tentang diri kita dan emosi. Tangan kita ibarat diri kita sendiri, sesuatu yang kita pegang (pena misalnya) merepresentasikan beban seperti pikiran, emosi, keyakinan, konsep, dll. Coba terapkan pena tersebut dalam tekanan jari. Sebetulnya pena tersebut tidak menempel, tetapi kita pegang. Artinya, pena itu bisa kita lepaskan, kan?
Kemudian aku mengorelasikan dengan apa yang belakangan ini terjadi dalam hidup aku. Aku menyadari bukan hidup yang tidak sesuai dengan keinginan kita, melainkan kita yang tidak memahami bahwa hidup sudah berjalan seperti apa adanya.
Ketika punya ekspektasi, maka terbentuklah pikiran dan konsep yang mengakumulasikan bentuk emosi. Emosi tersebut akan sangat bereaksi terhadap kenyataan. Ketika tidak sesuai ekspektasi, kita akan kecewa, marah, dan lelah. Emosi tersebut adalah sesuatu yang bisa dilepaskan. Namun, banyak dari kita justru memeluknya. Bila begitu, wajar kalau beban kita terasa berat.
Check up mata memang keputusan aku. Namun, proses observasi penyakit aku sampai berpekan-pekan merupakan bagian dari konsep “hidup berjalan seperti apa adanya”. Awalnya aku memang masih memeluk emosi lelah dan kecewa. Namun, perlahan-lahan aku harus belajar melepaskan emosi yang khawatir nantinya membahayakan mental dan fisik aku.
••• Senin, 19 Mei 2025 •••
Hari ini jadwal konsul ditemani Denis. Kemarin sore di hari Minggu, pihak rumah sakit menghubungi aku bahwa jadwal konsul bersama dr. Canggih (dokter spesialis penyakit dalam) dimulai pukul 16.30 WIB. Aku diminta untuk stand by satu jam sebelum jadwal praktik dimulai. Namun, entah memgapa ketika itu aku tidak gerak cepat dan sibuk mengurus urusan di rumah baru berangkat pukul 16.30-an. Menunggu Maxim Car sangat lama. Padahal aku adalah orang yang cukup on time.
Sampai rumah sakit hampir pukul 17 karena sedikit macet. Kami langsung menghampiri loket informasi untuk registrasi ulang. Sempat sedikit panik karena terlambat. Namun, setelah melakukan sidik jari, nomor antrean langsung keluar. Setelah itu kami menuju ruang administrasi samping minimarket. Serius, deh, ruang administrasinya bagus banget seperti mal-mal mewah. Ada alunan musik semacam musik refleksi. Sayangnya fidak sempat foto karena tidak berani.
Baru setelah itu aku dan Denis mencari poli penyakit dalam untuk menunggu antrean. Untungnya dr. Canggih masih di ruangan dan ada beberapa orang yang antre. Kami menunggu sekitar 30 menitan. Sebelum dipanggil aku sempat dicek tensi oleh suster, dan hasilnya normal. Beberapa lama kemudian akhirnya namaku dipanggil masuk ke dalam dan bertemu dr. Canggih. O, iya, percakapan di bawah ini hanya percakapan yang kuingat saja, ya.
Ketika duduk di hadapan dr. Canggih, dia langsung bertanya, “Halo, Mbak, gimana keluhannya?”
Aku pun menjelaskan keluhan mata aku seperti pada episode sebelum-sebelumnya. dr. Canggih sambil mendengarkan aku sambil mengetuk-ngetik sesuatu di laptopnya. Aku pun menjelaskan bahwa dari dr. Lili menyampaikan adanya pembengkakan otak yang mengakibatkan retina menipis. Namun, aku sama sekali tidak merasa sakit kepala atau nyeri di sekitar mata.
dr. Canggih berkata, “Saya setuju dengan dr. Ar untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ya, Mbak. Namun, Mbak harus sabar karena ini prosesnya akan panjang.”
Aku mengangguk. dr. Canggih kembali bertanya-tanya soal gejala autoimun seperti apakah ada nyeri sendi? Apakah rambut rontok? Untuk nyeri sendi aku jarang merasakan. Ketika bagian sendi kedua tanganku ditekan dr. Canggih pun aku tidak merasa sakit. Untuk rambut aku memang mengalami kerontokan. Akan tetapi, di sini aku merasa karena dulu aku sering sampoan sehari dua kali yang membuat rambut tipis dan rontok. Namun, hal itu tetap aku sampaikan. dr. Canggih pun menjelaskan terkait bahwa autoimun adalah ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat. Dan, autoimun bisa menyerang siapa saja.
Aku bertanya, *Kira-kira penyakit autoimun disebabkan karena apa, Dok? Apa karena kesalahan saya? Misal pola hidup atau pola makan yang salah?”
dr. Canggih menggeleng dan membalas, “Bukan, kok. Sampai saat ini belum ada penelitian terkait penyebab autoimun itu sendiri, Mbak.”
“Jadi, kayak “dikasih” aja gitu, ya, Dok?” tanyaku yang dibalas anggukan oleh dr. Canggih.
dr. Canggih menjelaskan bahwa untuk pemeriksaan deteksi autoimun ini harus sabar karena ada beberapa tahap yang harus dilalui. Masing-masing tahap akan dikasih skor jika positif/sesuai. Kalau skornya mencapai standar deteksi autoimun maka aku positif autoimun. Akan tetapi, jika kurang satu skor saja, dokter tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah autoimun. dr. Canggih juga menambahkan untuk pemeriksaan ini tidak semuanya dikover BPJS.
“Kira-kira biayanya berapa, Dok?” tanyaku.
“Lumayan, Mbak. Bisa puluhan juta. Untuk pemeriksaan awal sekitar dua setengah juta.” Aku mengangguk.
“Cuma memang alatnya hanya ada di rumah sakit tensga pendidik, Mbak.”
Bahwa, alat untuk tahapan mendeteksi penyakit autoimun ini hanya ada di rumah sakit daerah (pendidik). Maksudnya adalah rumah sakit di bawah naungan pemerintah. Kalau di Bandar Lampung, rumah sakit daerah seperti Rumah Sakit Abdul Moeloek dan itu milik Unila (Universitas Lampung). dr. Canggih mengabarkan terakhir alatnya bulan lalu masih ada. Namun, jika tidak ada, maka dirujuk ke Rumah Sakit Cipto (milik UI) di Jakarta. Sebab, alatnya hanya ada di pulau Jawa.
Aku betul-betul menyimak semua penjelasan dr. Canggih. Bagaimana cara mendapatkan uang puluhan juta dalam waktu dekat, ya? Sepertinya aku harus segera cari uang, cari kerja. Padahal, niatku berobat mata agar bisa melihat dengan normal supaya bisa cari kerja di luar. Ternyata aku harus mulai memikirkan mendapatkan uang untuk pemeriksaan deteksi autoimun. Jujur, aku tidak overthinking, cuma lelah saja.
Setelah itu dr. Canggih meresepkan vitamin dan memintaku untuk pengambilan darah, lagi. Aku kembali dijadwalkan konsul ke dr. Ar pada hari Jumat, 23 Mei.
•••
Aku betul-betul sudah di titik berserah. Sangat-sangat berserah. Kupikir akan mendapatkan hasil diagnosis. Nyatanya, aku diminta untuk bersabar. Nyatanya aku harus melalui proses pemeriksaan bertahap yang cukup lama. Sebab, sampai saat ini belum ada alat yang dapat mendeteksi autoimun dalam sekali cek. Nyatanya aku harus mengeluarkan uang puluhan juta yang sebelumnya saja aku tidak pernah memegang uang segitu. Nyatanya, kenyataan memang begitu penuh rintangan dan tantangan.
Aku sempat berpikir dalam benak, “Apa aku berhenti saja, ya?”
Bagaimana jika sudah mengeluarkan puluhan juta ternyata bukan autoimun? Dokter pun sempat memberikan jawaban, kalau bukan autoimun kemungkinan neuritis. Namun, sudahlah, membayangkan saja rasanya sudah lelah dan mumet.
Aku sempat bertanya dalam hati, “Kenapa, ya? Kenapa gue, ya?”
Merasa sehat, ternyata tidak melulu menyatakan bahwa kita sehat. Perasaan bisa saja bohong, tetapi kenyataan yang akan berkata jujur. Jujur memang tidak selamanya menyenangkan, sering kali jujur menyeramkan. Namun, apa yang bisa kita lakukan dengan kenyataan? Apa yang bisa kita lakukan terhadap kehidupan yang sudah berjalan seperti apa adanya? Apa yanh bisa kita lakukan terhadap ketentuan yang sudah Allah tetapkan kepada kita?
Kita hanya bisa ikhtiar dan meyakini bahwa apa yang Allah tetapkan dan berikan adalah hadiah terbaik untuk kita, hamba-Nya.
Posting Komentar