AKU takut ketika membuka mata, semuanya gelap. Membelalak hingga mata hampir keluar pun, tetap enggak ada satu objek pun yang bisa ditangkap. Hitam, enggak ada putih. Seakan-akan panorama dunia dihalangi tabir kegelapan tanpa ujung. Aku takut, kalau suatu hari aku enggak bisa melihat lagi. Aku takut, meski sudah berkedip berkali-kali dan mengucek-ngucek mata, mata aku enggak berfungsi lagi.
Aku takut buta.
Membayangkan hidup dalam kegelapan di sisa umur hidup. Bagaimana rasanya? Membayangkan menjalani hidup mengandalkan insting. Bagaimana jadinya? Dan, kalau suatu hari bayangan tersebut menjadi nyata. Bagaimana? What should I do?
Meskipun sebetulnya—sebagai orang yang selalu well prepare dalam menghadapi risiko dan konsekuensi masa depan, aku sudah mempersiapkan diri, kok. Bukan berarti aku berharap menjadi buta. Gimana, ya? Dengan kondisi mata aku yang cukup mengkhawatirkan ini, ditambah ada kemungkinan menyebar. Aku merasa bayangan masa depan yang gelap itu terasa dekat.
Nyeseknya, ketika aku punya kesempatan, tetapi keadaan, kok, rasanya enggak mendukung penuh, ya? Sedihnya, ketika aku bisa sembuh, tetapi rasanya enggak ada seorang pun yang bisa all in untuk kesembuhan mata aku, ya? Aku tahu, aku punya diri aku as a support system. Cuma realistis saja, dengan mata aku begini, mana bisa aku bolak-balik rumah sakit sendirian.
Setelah serangkaian fase mencari tahu penyebab kelainan mata aku—dan sampai tulisan ini dibuat masih menjadi misteri. Aku berhenti. Aku pernah baca buku Soul Healing Therapy. Intinha setiap doa pasti terkabul, begitu pun doa aku untuk bisa melihat dunia lebih jelas. Salah satu cara Allah mengabulkan doa adalah dengan memberikan pilihan.
Dari awal check up sampai konsultasi untuk rujuk cek autoimun semuanya tentang pilihan. Mau lanjut atau enggak? Mau lanjut, Allah pasti menuntun kita pada akhir yang dibutuhkan. Kalau enggak lanjut, ya, enggak akan ada progres dan akan makin jauh mencapai tujuan yang didoakan. Akan tetapi, aku tahu, kok, terkabulnya doa enggak selamanya sesuai dengan keinginan. Allah knows my best.
Sayangnya, aku memilih enggak lanjut untuk cek autoimun. Bingung. Semuanya tampak menyulitkan. Aku pengin lanjut, tetapi aku engak bisa menjalani sendirian. Surat rujukan itu masih tersimpan di dalam tas. Entah kapan digunakan atau mungkin sudah kedaluwarsa. Namun, aku punya niat untuk melanjutkan, kok, tetapi masih belum tahu, kapan.
Aku memang kecewa dengan pilihan aku sendiri, sih. Berdalih dengan alasan enggak mau merepotkan keluarga. Enggak mau bikin keluarga susah karena harus mengeluarkan banyak biaya. Terlalu memikirkan orang lain, tetapi malah menyusahkan diri sendiri. Aku ingat betul ketika aku begitu bersemangat mengumpulkan uang untuk bisa check up mata. Untuk bisa sembuh. Aku enggak sabar untuk eksplorasi Bandar Lampung sendirian. Sekarang semua itu rasanya hambar. Cuma jadi harapan semu.
Aku mengira-ngira sampai kapan hidup dengan mata seperti ini?
Mencari sesuatu harus mengandalkan insting. Jalan kaki pelan-pelan. Harus digandeng seperti nenek-nenek. Enggak bisa membaca buku fisik. Enggak bisa menonton film/drama. Enggak bisa mendeteksi objek dengan sekali lihat—butuh waktu beberapa menit. Bekum lagi kalau enggak sengaja menabrak sesuatu atau seseorang. Enggak sengaja menjatuhkan barang. Aku, kan, makin enggak enak karena menyusahkan banyak orang!
Tahu enggak, sih, rasanya ... seperti orang buta, tetapi sebetulnya bisa melihat sedikit. Tahu enggak, sih, rasanya ketika enggak bisa baca tulisan di buku, tetapi aku bisa melihat deretan kata yang berbaris absurd. Tahu enggak, sih, rasanya enggak bisa menonton film/drama, tetapi aku bisa melihat pergerakan sosok dan sinemanya yang cepat. Tahu enggak, sih, rasanya ketika aku enggak bisa mendeteksi sosok di depanku, tetapi aku melihat ada postur di depanku.
Cape. Frustrasi. Bisa, tetapi enggak bisa. Enggak bisa, tetapi bisa. Cape karena terus-menerus menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang dikarenakan mataku. Ya, nabraklah, ya, ngejatuhin baranglah. Aku, tuh, kayak beban tahu enggak, sih?
Aku pernah kepikiran mau baca buku dan Al-Qur’an fisik dengan huruf braille—alat bantu seperti yang tunanetra lakukan. Aku pernah kepikiran mau mengoperasikan laptop yang full light mode dengan menggunakan aplikasi pembaca layar. Saking pengin bisa melakukan kegiatan dengan normal. Masalahnya aku, tuh, masih bisa melihat. Dan, masalahnya aku enggak bisa melihat’ sesuatu dengan detail dan fokus. Duh, sia mah.
Salah satu mimpi remehku adalah bisa mengetik tulisan di laptop. Masalahnya aku kesulitan melihat tulisan di keyboard.
Ada kalanya aku merasa malu. Aku yang masih dikasih penglihatan meski sedikit kelainan. Di luar sana ada orang-orang yang enggak bisa melihat sama sekali, bahkan sejak dilahirkan enggak pernah ada kesempatan melihat dunia. Namun, keterbatasan itu justru menjadikan mereka orang yang luar biasa. Mereka bisa bangkit dan mampu meraih mimpi.
Beberapa waktu lalu, ketika sedang scrolling TikTok. Muncul di fyp, seorang konten kreator yang berprofesi sebagai guru. Dia membagikan kesehariannya menjadi seorang guru di sebuah sekolah. Menariknya adalah guru tersebut tunanetra, namanya Salma Rahmasari. Teks di bio-nya juga membuat aku tersenyum simpul; “Hanya karena terhambat, bukan berarti tidak bisa menjadi tepat.”. Salma Rahmasari mungkin terhambat, tetapi dia menunjukkan berhasil menjadi hebat.
Setelah aku stalking dan menonton semua VT-nya, sesuatu yang hangat menghampiri pikiranku. Sesuatu yang kuat, membuka mataku. Ah, yaa, konten kreator itu menyadarkan aku bahwa melulu mengeluh hanya akan membuat kita makin terhambat. Cukup mata saja yang terhambat, sikap jangan. Memang kita itu harus banyak-banyak merenung untuk bisa kembali bangkit dan percaya masa depan yang cerah.
Toh. Meskipun aku enggak bisa melihat dengan jelas. Aku sangat terbantu dengan fitur dark mode yang dimiliki ponsel. Aku sudah enggak bisa lagi melihat dan membaca di light mode. Fitur dark mode membuat semuanya menjadi lebih jelas. Makanya, desain aku kebanyakan menggunakan basic warna gelap.
Terima saja kenyataan. Toh, aku sendiri yang memilih untuk enggak lanjut pengecekan dulu sampai kondisinya mendukung. Sekarang lakukan segalanya semaksimal yang sesuai dengan kemampuan. Mataku begini juga, kan, Allah yang kasih. Dan, seharusnya aku bersyukur karena Allah memberikan sesuatu dalam hidup aku. Aku tahu, Allah selalu punya alasan kuat yang baik ketika memberikan sakit kepada hamba-Nya.
Di samping kesulitan, Allah memberikan kemudahan.
Dan ... aku baru sadar ketika menulis kalimat ini, sih. Kalau dibandingkan, Allah lebih banyak kasih aku kemudahan, daripada kesulitan. Maksudnya, aku memang kesulitan, tetapi Allah mudahkan semuanya.
Enggak bisa ikut kegiatan sosial di luring? Aku masih bisa produktif: ikut komunitas daring, mengemban amanah di kepengurusan komunitas.
Enggak bisa mengetik di mode terang? Ada fitur mode gelap yang membuat aku bisa menulis sebanyak dam sesuaka hati!
Enggak bisa mengoperasikan browser Chrome karena enggak bisa mode gelap secara utuh? Ada browser Brave yang membantu aku bisa membuat dan menulis blog.
Enggak bisa membaca buku fisik? Ada aplikasi iPusnas yang bisa mode gelap, kok!
Bahkan media sosial seperti Instagram dan Tiktok sudah bisa mode gelap yang sangat menopang aku untuk edit video dan personal branding.
Allah kasih aku kesempatan menebar manfaat melalui produktivitas yang aku lakukan. Enggak ada masa depan yang gelap, yang ada masa depan yang cerah.
Saat membaca tulisan ini rasanya aku tertampar. Kenapa? Karena saat aku mengeluhkan semua kepadatan aktifitas yang kulakukan, ada kak vina yang punya harapan besar untuk sembuh dan bisa beraktifitas dengan normal. Semangat yahh kak, semoga Allah mudahkan kak vina melewati semua ini.
BalasHapus