MEMASUKI usia riskan dalam hidup. Mulai banyak kabar-kabar yang sering kali memberikan tekanan. Padahal kabar yang sampai pun sebetulnya kabar positif. Tekananannya berasal dari respons emosi kita terhadap kabar-kabar dari hasil scrolling media sosial.
Sayangnya, kita merespons kabar positif dengan emosi negatif yang perlahan-lahan menumbuhkan rasa minder, enggak percaya diri, dan mulai membandingkan diri dengan orang lain. Bibit-bibit ini akan mengembangkan cikal bakal terjadinya krisis identitas diri, tersesat dalam pencarian jati diri.
Huft. Kalau sudah begitu, siap-siap mimpi buruk, deh!
Usia 20-an memang rawan banget. Kalau mental enggak kuat, membandingkan diri sudah jadi junk food yang menyakiti diri sendiri. Aku pernah, sih, hidup di era sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Bikin merasa jadi manusia enggak guna. Waktu habis, terbuang sia-sia. Akhirnya, bertekad untuk, keluar dari zona bahaya.
Gimana, sih, biar enggak membandingkan diri dengan orang lain melulu?
Social Comparison: Hidup Isinya Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Fenomena membandingkan diri, sudah lebih dulu dibahas dalam psikologi. Pertama kali dicetuskan oleh seorang psikolog asal Amerika, Leon Festinger. Leon menyebut fenomena membandingkan diri ini dengan social comparison. Dia juga mengungkapkan bahwa manusia cenderung membandingkan dirinya dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Enggak bisa dimungkiri, sebagai manusia kita adalah makhluk yang selalu butuh validasi dari orang lain.
Oleh karena itu, kita selalu menjadikan satu sosok atau bahkan lebih sebagai perbandingan secara subjektif. Result dari perbandingan yang kita lakukan dengan sosok lain akan menghasilkan dua output: upword dan downword. Keduanya dapat dihasilkan tergantung dari self control kita.
Downword
Downword adalah ketika kita membandingkan diri dengan seseorang yang kita anggap kurang beruntung dari diri kita. Anggapan ini pun akan menghasilkan output positif atau negatif tergantung dari sudut pandang mana kita memandang.
Kalau self control kita baik akan menghasilkan output yang positif. Kita akan belajar dari orang lain dan belajar bersyukur. Bahwa ternyata masih ada orang lain yang kurang beruntung dari diri kita tanpa merendahkannya.
Sementara, ketika self control kita kurang baik menghasilkan output negatif. Kita memandang orang yang kurang beruntung dengan rendah. Kita menganggap diri kita jauh lebih tinggi daripada mereka. Fatalnya karena kita merasa ada yang lebih rendah, kita merasa enggak perlu lagi untuk mengembangkan diri.
Upword
Upword adalah ketika kita membandingkan diri dengan seseorang yang kita anggap punya kelebihan spesial dari diri kita. Self control kita pun akan memengaruhi output yang dihasilkan dari social comparison jenis upword.
Self control yang baik akan menghasilkan output yang positif. Kita akan memandang seseorang yang kita anggap punya kelebihan lebih spesial dari diri kita sebagai motivasi, dorongan, acuan untuk bisa menjadi seperti mereka sesuai dengan versi terbaik diri kita.
Sedangkan ketika self control kita kurang baik, menghasilkan output negatif. Kita akan cenderung menganggap diri kita rendah dan berimbas pada self esteem. Kita mulai merasa insecure, enggak layak, bahkan menghabiskan waktu untuk menilai kesuksesan orang lain.
Banyak aspek kehidupan yang kemudian dijadikan alat komparasi. Seperti pencapaian, pendidikan, status sosial, kemampuan, dam yang paling banyak adalah soal penampilan. Meskipum enggak ada masalah untuk membandingkan aspek-aspek yang kita miliki dengan orang lain. Masalahnya kita suka salah langkah.
Rumput tetangga selalu lebih hijau. Begitulah kebanyakan orang menggunakan cara kerja langkahnya. Terlalu sempit menilai kesuksesan dan kebahagiaan orang lain dari luarnya. Sementara kita menutup mata bahwa ada proses yang enggak mudah sebelum kemudian kesuksesan yang menghampiri.
How to Handle Social Comparison?
Sebetulnya social comparison bersifat lebih luas lagi. Bahkan, sering kali kita berhadapan dengan komparasi. Misal, dalam pengambilan keputusan, kita perlu perbandingan dari yang sebelumnya. Atau, ketika melakukan voting dalam hal apa pun. Pada dasarnya membutuhkan komparasi. Hanya saja komparasi di sini sebagai antisipasi.
Perbandingan yang akan kita bahas ini lebih kompleks. Sering kali perbandingan diri memberikan dampak negatif. Seperti ketika kita membandingkan diri dengan orang lain. Sejatinya kita enggak bisa menghindari fenomena social comparison. Akan tetapi, kita bisa mengendalikan diri kita sendiri dalam merespons social comparison.
Bagaimana caranya? Sederhana. Dimulai dari mindset, pola pikir. Segala perubahan harus dimulai dari dasar pemikiran. Sebab, tindakan kita sering kali dipengaruhi oleh cara berpikir kita dalam berpersepsi.
Ask, “Why?”
Kadang kita perlu menanyakan alasan kenapa kita perlu melakukan sesuatu. Termasuk membandingkan diri dengan orang lain. Percaya, deh, kalau dasar alasannya jelas untuk membandingkan diri dengan orang lain, mungkin output-nya bakal positif. Ya, masa ada, sih, orang dengan sadar tega merendahkan dirinya tanpa sebab?
Kebanyakan dari kita merasa minder dan enggak berharga karena telanjur membandingkan diri dengan orang lain. Dia emggak memahami esensi perbandingan yang dia lakukan itu untuk apa? Alasannya kenapa? Ditambah punya self control yang kurang baik, tentu saja output-nya akan negatif. Ujung-ujungnya menjalankan keadaan atas kenyataan yang enggak bisa diterima.
Padahal, kalau saja kita mau memahami bahwa setiap orang punya special space-nya sendiri. Dan, yang membuat kita pada akhirnya enggak spesial, ya, karena salah persepsi dalam membandingkan diri. Coba, deh, tanyakan lagi, kenapa kamu harus membandingkan diri dengan orang lain? Apa urgensinya?
Focus!
Dari tadi ngomongin soal persepsi. Maksudnya gimana, sih? Persepsi banyak orang dalam social comparison selalu perbandingan positif dengan negatif. Wajar karena kita mesti menemukan yang terbaik. Namun, salah fokus dalam persepsi perbandingan menuntun pada output negatif.
Boleh, kok, kita membandingkan diri dengan orang lain. Namun, fokusnya harus sebagai motivasi yang positif. Fokusnya harus sebagai pembelajaran dalam berproses. Bukan sebagai adu kapasitas dan kemampuan diri. Jadinya malah salah fokus.
Kalau mau cara sederhana dan mudah. Sebaiknya setop membandingkan diri dengan orang lain. Fokus saja dengan tujuan hidup kita. Fokus saja untuk mengejar keberhasilan. Kalau fokus kita dihabiskan untuk orang lain, maka jangan salahkan siapa dan apa pun atas dampak yang terjadi.
You Have Your Own Track
Tanamkan dalam pikiran bahwa kita punya something special. Bukan hal yang pantas membandingkan diri dengan orang lain untuk merendahkan diri. Bukan hal yang adil ketika kita membandingkan kelemahan kita dengan kelebihan orang lain. Enggak apple to apple, dong! Please, deh, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Jangan salah fokus!
Dalam mencapai keberhasilan, setiap orang punya timing-nya sendiri. Cepat atau lambatnya proses itu tergantung kita ssndiri. Meskipun proses bukan tentang waktu, sih, melainkan pembelajaran yang didapat. Jadi, kita perlu menikmati proses, supaya hasilnya jauh lebih bermakna.
Gagal itu bagian dari proses juga, lo. Gagal itu merupakan salah satu pembelajaran berharga dari proses, lo. Setiap orang punya jalannya sendiri, punya treknya masing-masing. Kamu punya jalan kamu sendiri yang berbeda dengan jalan orang lain. Sampai sini paham, ya, esensi komparasi?
PADA akhirnya—menurut aku—untuk memantik pola pikir yang positif adalah dengan belajar bersyukur. Sering kali kita mengeluhkan sesuatu yang enggak kita punya dan mengabaikan sesuatu yang jelas-jelas kita punya. Kan, salah fokus lagi, kan?
Belajar bersyukur dengan belajar menerima apa-apa yang terjadi. Bukan berarti kita jadi orang yang pasrahan. Kita butuh usaha dan prosesnya, hasilnya serahkan ke Tuhan. Dia Maha Tahu.
Posting Komentar