SEBENTAR, ya, aku masih agak syok setelah membaca bab: Kejahatan Yang Cantik dari novel The School for Good and Evil. Tinggal satu bab lagi untuk akhirnya bisa mengakhiri bacaan novel fantasi satu ini. Dari dulu selalu suka baca fantasi. Dan semenjak dulu novel fantasi enggak pernah gagal memberikan kesan amaze bertubi-tubi. Begitulah yang terjadi—lagi—pada novel terjemahan kali ini yang kubaca.
Sebetulnya sudah lama sekali aku merencanakan untuk membaca The School for Good and Evil. Namun, entah kenapa, baru kubaca bulan ini. Ternyata works juga untuk mengembalikan minat baca yang belakangan sedang ambruk. Yang penting harus tetap baca buku, apa pun itu. Novel—apa lagi fantasi—adalah jalan ninja terhindar dari reading slump.
Di tengah-tengah membaca novel The School for Good and Evil, aku bertanya-tanya, apakah novel ini ada veesi filmnya? Well, Netflix menjawabnys dengan tegas. Ah, sayang sekali, aku lagi enggak bisa menonton. But, nope! Imajinasiku sudah cukup mengimplementasikan cerita The School for Good and Evil. Dan, itu sudah membuat aku bahagia, kok.
So, aku akan mengulas novel ajaib satu ini. But, wait a minute. Aku akan menyelesaikan novel ini dengan menuntaskan satu bab terakhir. I’ll be back!
I’m back! Xixi. Aku sudah menyelesaikan seri pertamanya The School for Good and Evil.
Anyway. Jujur tsdinya nyesel banget karena enggak teliti melihat judul secara lengkap. Aku, kan, mau pinjam novel ini di iPusnas. Ada tiga seri The School for Good and Evil yang tersedia. Dikarenakan aku hanya baca kalimat awal dan berpikir urutan teratas adalah seri ke-1, buru-buru aku pinjam. Kemudian aku bab pertama beberapa halaman dan keningku berkerut.
Kok agak aneh, ya?
Aku coba memastikan dan ternyata aku membaca seri yang ke-3. Tahu enggak, sih, rasanya kena spoiler ketika baru sayang-sayangnya? Namun, aku enggak menyerah pada rasa malas! Aku kembali ke jalan yang benar—membaca mulai dari seri pertama! Di luar ekspektasi, nyatanya The School for Good and Evil tetap memberikan efek kejut dan keseruan tiada tara!
Dan, aku akan mengulasnya.
Review Novel The School for Good and Evil: Sekolah Kebaikan dan Kejahatan
The School for Good and Evil—karens aku baca terjemahannya berjudul Sekolah untuk Kebaikan dan Kejahatan. Menceritakan tentang sepasang sahabat yang merasa tertukar sekolah. Sophie dan Agatha, keduanya berasal dari Desa Gavaldon. Mereka memiliki penampilan dan karakter yang amat berbeda. Namun, perbedaan tersebut bukan masslah.
Sophie, gadis cantik, feminim, si penyuka pink. Remaja berambut panjang ini selalu membuat ramuan krim dari bahan alami untuk menjaga kulitnya tetap bersih, cerah, dan mulus. Sophie punya kepercayaan diri yang tinggi. Cara bicaranya pun enggak mengenal filter, ceplas-ceplos. Gadis yang selalu mengenakan gaun modis ini berharap diculik Sang Guru.
Agatha, gadis berantakan, enggak terueus, dan si serbahitam. Remaja berambut kusut ini enggak acuh terhadap penampilan fisiknya sehingga terlihat urakan. Agatha cenderung penutup dan lebih sering mengurung diri di rumah di tengah kuburan. Gadis berjubah hitam dan bersepatu tebal ini sudah nyaman dengan dunianya sendiri di Gavaldon.
Berbeda dengan Sophie, Agatha enggak mau diculik. Namun, fenomena penculikan yang sering kali terjadi selama empat tahun sekali ini akhirnya datang juga. Sang Guru datang mengendap, lolos dari kepungan warga Gavaldon yang berjaga di pinggir hutan melindungi anak-anak mereka. Malam itu Sophie sudah berkemas dan membuka jendela yang dipagari ayahnya lebar-lebar, siap-siapp diculik. Agatha seperti biasa berbaring di tempat tidurnya.
Singkat cerita, keduanya diculik. Ketika Sophie sudah yakin 100% akan dimasukkan ke Sekolah Kebaikan, justru Sang Guru melemparnya ke Sekolah Kejahatan, serbagelap. Sementara, Agatha yang selalu disebut-sebut sebagai penyihir, dilemparkan ke Sekolah Kebaikan, serbacerah. Keduanya merasa tertukar sekolah karena Sekolah Kebaikan diisi dengan para calon putri yang cantik dan modis seperti Sophie. Sekolah Kejahatan diisi oleh calon penyihir yang buruk rupa seperti mirip Agatha.
Cerita ini memiliki premis Agatha yang ingin pulang ke Gavaldon bersama sahabatnya, Sophie.
Salah satu keunikan novel fantasi adalah teknis latar yang akan selalu berbeda dari lainnya. Sebab, menggunakan konsep world building yang lahir dari kreativitas sang penulis. Begitu pun latar yang disajikan oleh Soman Chainani sebagai penulis The School for Good and Evil. Mendeskripsikan latar suasana—bahkan adegan—dijelaskan secara detail, menggunakan analogi untuk membantu lebih memahami.
World building tentunya enggak hanya menampilkan latar tempat dan suasana yang segar. Namun, juga berkaitan dengan konsep sebab akibat yang terjadi sehingga membuat novel fantasi jadi lebih logis, masuk akal, dan bisa diterima pembaca. Konsep sebab akibat yang disuguhkan dalam novel terjemahan ini menurut aku memang cukup kompleks. Apa lagi untuk otak aku yang lemot. Butuh waktu untuk mencerna maknanya.
Untungnya, novel terjemahannya memiliki gaya bahasa yang amat mudah dipahami. Meskipun ada beberapa kata yang agak ambigu, tetapi aku memahami maksudnya, kok. Yang terpenting adalah setiap babnya selalu memberikan rasa penasaran untuk lanjut ke bab berikutnya. Jeleknya aku, kalau sudah keseruan dengan novel bisa lupa waktu. Next, mesti belajar time management.
Ketika Segalanya Hanya Dinilai dari Penampilan Fisik
Novel The School for Good and Evil memiliki makna dan analogi yang melekat pada stigma sosial yang kerap terjadi. Betapa masih banyak orang menilai segala sesuatu dari yang tampak atau terlihat, penampilan fisik. Sekolah Kebaikan dan Sekolah Kejahatan di sini dikualifikasi dari sisi fisik dan penampilan. Si cantik dan tampan didesain menjadi seorang putri dan pangeran di Sekolah Kebaikan. Sementara, si—yang dianggap—buruk rupa didesain menjadi sosok penyihir di Sekolah Kejahatsn.
Penggambaran kedua sekolah ini pun sangat-sangat merepresentasikan fisik. Sekolah Kebaikan penuh warna cerah yang didominasi pink dan biru. Hampir seluruh elemen di kastel terbuat dari manisan seperti permen, marshmellow, lolipop, krim, dll. Tentu saja bersih dan nyaman. Sementara Sekolah Kejahatan merupakan kastel gelap yang dibangun dari batu. Penerangan hanya mengandalkan obor-obor. Belum lagi sarang laba-laba di mana-mana. Tentu saja kastelnya kotor dan bau. Seolah-olah yang dianggap cantik dan tampan cocok dengan tempat yang bersih. Sementara yang dianggap buruk hanya cocok di tempat kotor.
Banyak dari kita yang mengkotak-kotakkan seseorang dari penampilannya. Menganggap si ini jelek, si itu cantik dan tampan. Betapa banyak dari kita yang tertipu oleh penampilan. Nyatanya di Sekolah Kebaikan pun hampir semuanya memiliki sifat dan karakter yang buruk, sombong, dan egois. Sementara, di Sekolah Kejahatan justru punya solidaritas yang tinggi. Meskipun ada persaingan antarmurid, Sophie dan Hester.
Pernah dengar soal: lebih baik mengumpulkan orang jahat untuk bersatu daripada mengumpulkan orang baik?
Untuk menyentil stigma sosial tersebut, Soman Chainani menghadirkan Sophie dan Agatha yang dianggap kontradiksi dengan keberadaan sekolahnya. Seakan-akn si penulis tengah memberi tahu bahwa enggak selamanya fisik sesuai dengan label Kebaiksn dan Kejahatan. Bahwa enggak pantas kita sebagai manusia melabeli jelek dan cakep terhadap fisik. Label jelek dan cakep itu lebih ke pola pikir dan pola perilaku. Wajar sekali ketika Sophie dilempar ke Sekolah Kejahatan dan Agatha dilempar ke Sekolah Kebaikan.
"Menara-menara kita bukan bernama Fair—Cantik—dan Lovely—Menawan!" hardik Agatha. "Menara-menara kita adalah Valor—Keberanian—dan Honor—Kehormatan! Itulah Kebaikan dasar pengecut-pengecut tolol!" [Sekolah untuk Kebaikan dan Kejahatan, 565]
Sekarang kita bahas soal kejahatan yang murni karena sifat atau karakter. Sekolah Kejahatan memang dirancang untuk anak-anak Never. O, iya, sebutan untuk anak-anak di Sekolah Kebaikan adalah Ever. Never rata-rata memang memiliki sifat negatif. Mereka disebut enggak msmbutuhkan orang lain karena pada akhirnya penyihir akan hidup sendirian. Namun, di sini aku menemukan makna yang begitu dalam dari kejahatan anak-anak Never.
Aku meyakini bahwa setiap anak terlahir baik, seperti kertas putih. Akan tetapi, sifat dan karakter anak ditentukan dari pengalaman hidupnya. Anak-anak Never disebut enggak punya empati terhadap perasaan cinta. Namun, bagaimana jika mereka adalah orang yang tulus cintanya kemudian dikhianati? Bagaimana kalau mereka disakiti oleh sesuatu yang dia cintai? Sayangnya, pengalaman hidup mereka membuat sudut pandang tentang cinta berubah. Jadilah Never..
Dan, itu yang terjadi pada Sophie.
Bukan hanya kebaikan yang membutuhkan cinta. Justru, kejahatan lebih membutuhkan cinta untuk kembali menjadi baik. Kejahatan sekali pun akan memiliki cintaz meski secercah. Barang kali kejahatan adalah alibi dan bentukan dari cinta yang terabaikan. Tentang kejahatan yang kehilangan rasa cinta dan dicintai.
Posting Komentar