Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Marriage is Not a Solution!


Marriage is Not a solution

BELAKANGAN aku lumayan sebal dengan solusi beberapa orang terdekat. Menjadikan pernikahan sebagai solusi dari sebuah permasalahan yang sebetulnya banyak penyelesaian selain menikah. Kadang suka heran dan bertanya-tanya, kenapa orang getol banget menjadikan pernikahan sebagai jalan keluar sebuah permasalahan? Apa bedanya dengan lari dari masalah?

Memang, sih, menikah adalah solusi dari zina dan beberapa hal lainnya. Namun, aku merasa permasalahan yang aku alami enggak membutuhkan pernikahan sebagai solusi. Justru aku mau masslah aku selesai sebelum menikah. Aku mau menikah setelah aku benar-benar selesai dengan diri aku sendiri, baik mental maupun fisik. Aku mau mengarungi pernikahan setelah aku betul-betul sehat.

Kadang aku suka sedih memikirkannya. Aku paham, kok, maksud mereka baik. Aku mengerti bahwa mereka ingin yang terbaik untuk aku. Akan tetapi, bukankah aku yang lebih tahu dari mereka tentang kebutuhan aku? Aku punya alasan mempertahankan idealisme aku. Aku punya maksud untuk meminimalisir kesulitan di masa depan nantinya. Namun, kenapa mereka enggak juga mengerti?

Aku pernah cerita ke Mbak aku tentang betapa aku merasa enggak enak karena tinggal di rumah Tante. Aku merasa merepotkan dan membebaninya. Dan, Mbakku menyarankan untuk menikah aja, Vin. Aku betul-betul heran sekaligus tergelitik. Solusi yang aku butuhkan bukan “keluar”, apa lagi menikah. Ya ampun, enggak mungkin aku menikah untuk alasan konyol seperti itu, kan?

Alhasil, aku belajar bersyukur karena Allah masih memberikan aku fasilitas untuk tetap produktif. Aku memanfaatkan rasa enggak enak tersebut sebagai privilese yang harus digunakan dengan baik. Aku menjadikan perasaan takut merepotkan itu dengan belajar bertanggung jawab. Ternyata sikap ini membuat aku jadi lebih baik. 

See? Aku bahkan enggak perlu menikah untuk meringankan rasa enggak enak tersebut.

Ada lagi.

Kalau kamu baca My Journeyeling, kamu pasti mengetahui masalah mata yang aku alami. Intinya, kelainan di mata, membuat aku sulit untuk beraktivitas dengan leluasa. Beberapa kali check up hingga rawat inap aku ditemani Mbak atau adikku. Ya, tentu saja,.aku merasa enggak enak hati. Namun, mereka menenangkan aku bahwa sesama saudara kamdung sudah semestinya begitu.

Pernah ada suatu percakapan di grup WhatsApp keluarga. Kami sedang membahas rencana aku pergi konsultasi ke RS dengan siapa dan transportasinya bagaimana. Memang yang menjadi masalah adalah karena kami enggak ada alat transportasi. Bagiku itu bukan masalah karena, toh, masih ada ojek online. Angkot juga aku sama sekali enggak masalah. Banyak jalan menuju Roma.

Sampai salah satu Mbakku beeceletuk canda, “Makanya, Vin, nikah, biar enak ada suami yang nemenin.”

Sebentar. Masih ada cerita lain lagi.

Beberapa hari lalu aku bertemu dengan salah seorang teman. Enggak ada angin, hujan juga sudah usai turun. Tiba-tiba dia ingin mengenalkanku dengan sepupunya—semacam perjodohan. Aku terganggu dengan alasan yang dia berikan ke aku. “Siapa tau kalo sama.dia nanti dibantu buat kesehata mata lo, kan?”

Aku tertegun. Kenapa, ya, mereka semudah itu menjadikan pernikahan sebagai solusi? Mereka tahu enggak, ya, betapa kompleksnya kehidupan pernikahan? Mereka memang enggak mengetahui keinginan terbesarku saat ini. Namun, kenapa harus menikah? Aku enggak mau menikah dengan alasan sedangkal dan sekonyol itu. Pernikahan yang kompleks harus punya dasar yang kuat.

Begini.

Aku bukannya enggak mau menikah. Namun, aku punya tujuan sendiri untuk kemudian akhirnya menikah. Kelainan di mata aku bukan alasan layak untuk pernikahan yang krusial. Justru aku mau menikah dengan mata yang sehat. Supaya aku bisa jadi istri dan ibu yang baik. Supaya aku enggak merepotkan suami aku. Dan supaya aku enggak membahayakan anak aku nantinya ....

Bukan berarti seseorang yang buta lantas enggak pantas menjadi seorang istri apa lagi ibu. Bukan begitu maksud aku.

Aku punya kesempatan untuk sembuh. Aku punya kesempatan untuk dapat melihat dengan baik dan jelas. Kesempatan tersebut yang mendorong aku untuk punya keinginan sembuh. Kesempatan itu yang memberikan aku janji bahwa aku bisa produktif di luar rumah dan bisa menghadapi kehidupan rumah tangga tanpa masalah mata.

Kadang makin dipikirkan, aku malah merasa lemah dan cemen. Di luar sana banyak orang dengan keterbatasan, tetapi mereka bisa berjuang dan survive menghadapi kehidupan. Di luar sana ada banyak orang yang enggak bisa melihat, tetapi mereka bisa tetap produktif dan bahkan bisa menikah.

Hanya saja, aku punya kesempatan untuk sembuh. Apa salah kalau aku punya keinginan untuk sembuh lebih dulu? Aku tahu betul kelemahan dan kekurangan aku. Jadi, aku yang tahu apa yang aku butuhkan.

Terkesan sombong, ya? Merasa lebih tahu dari Tuhan .... Akan tetapi, membayangkan pernikahan dengan kondisi mata aku seperti ini rasanya menyedihkan banget. Bagaimana kalau aku enggak bisa mengurus suami dengan baik? Apa lagi kalau punya anak ... jalan saja kadang masih suka nabrak tembok! Duh.

Sampai sekarang aku masih enggak tahu harus bagaimana langkah selanjutnya pengobatan mata aku. Niatnya check up benerin mata supaya bisa keria. Namun, rasa-rasanya aku harus kerja dulu untuk biaya check up nantinya. Masa iya aku harus menikah dulu baru benerin mata? 

Lucu, ya, hidup.

.... Namun, apa yang bisa aku lakukan lagi selain berserah kepada Allah?

Sebagai anak yang keluarganya enggak baik-baik saja. Aku punya kekhawatiran terhadap kehidupan pernikahan. Bukan berarti aku takut untuk menikah. Semua orang menginginkan pernikahan untuk selamanya, begitu pun aku. Aku memahami enggak ada kehidupan pernikahan yang sempurna. Atau aku bisa bilang bahwa cara pasangan menghadapi masalah dengan baik adalah bentuk dari kesempurnaan.

Aku hanya bisa berikhtiar untuk selssai dengan diri sendiri sebelum menikah. Aku memang tahu kapasitas dan kebutuhan aku. Namun, aku berserah, Allah jauh lebih memahami kapasitas aku dan kebutuhan aku.

Sekian.

Posting Komentar