AKU pikir negara tenteram dan makmur itu hanya ada di dongeng-dongeng saja. Semua negara pasti sama, sama seperti Indonesia. Carut marut dan kasak kusuk.
Aku pikir rakyat kita sudah makmur-makmur saja. Namun, nyatanya mereka hanya enggak tahu harus berbuat apa lagi? Seakan-akan tanah air yang dipijak ini tengah mengekang dan membungkam.
Aku pikir hidup sudah berjalan seperti apa adanya dan menganggap itu normal. Nyatanya, semua ini adalah aksi dalam cekam—mengutip frasa ini dari Alisssa Wahid pada program ROSI di Kompas TV.
Aku pikir jadi pengajar di Indonesia itu memang dibayar sedikit, enggak sepadan dengan ilmu dan dampak positif bagi masa depan bangsa. Nyatanya, negara ini enggak tahu caranya menghargai jasa para guru.
Aku pikir negara memang hanya menghukum orang-orang kecil, enggak punya daya. Enggak pernah ada hukum yang tegak dan tegas terhadap orang-orang besar. Lantas, apa arti sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Aku pikir pengkhianatan, penyalahgunaan kekuasaan, kecurangan dalam penyelenggara negara adalah hal wajar. Nyatanya, itu kurang ajar.
Dari dulu. Sudah dibesarkan di negara yang sistemnya menormalisasi kejahatan. Maka, aku tumbuh menjadi rakyat yang menormalisasikan hal itu juga. Makin aku berpikir, makin aku menemukan bahwa aku enggak normal!
Ternyata semua itu enggak masuk akal! Aku telah hidup di negara yang sudah sakit.
Sudah dua pekan berlalu semenjak tulisan ini dibuat. Aksi unjuk rasa massa menjadi puncak rasa marah dan lelah karema berita dari politik.
Bertahun-tahun dibohongi kampanye palsu, kepercayaan yang dikhianati dengan janji manis, sebuah penghianatan yang lahir dari kebijakan enggak masuk akal. Mereka bilang akan membuat rakyat sejahtera, nyatanya membuat sengsara.
Saat kampanye, mengemis dengan tutur lembut dan perilaku kasih untuk dipilih dan didukung. Ketika kursi kekuasaan berhasil dirampas, mereka sudah lupa caranya bertutur kata sopan dan berperilaku santun.
Seakan-akan mata mereka menjadi gelap ditutupi oleh tumpukan rupiah dan kursi empuk di dalam gedung bertembok tinggi. Sebuah jabatan yang mengempaskan hati nurani dan empati.
Begitukah seharusnya perwakilan rakyat bersikap? Kenyataannya, begitulah. Ironi.
Kemarin malam, aku berdiskusi dengan Kak Nisa melalui sambungan telepon. Dia adalah seorang nakes yang bekerja di Jepang. Selalu excited kalau dengerin cerita Kak Nisa tentang kehidupan di negara Sakura tersebut. Berasa dibawa jalan-jalan ke pemukiman syahdu di tengah musim gugur.
Ini adalah kali kedua kami teleponan. Dan, untuk kedua kalinya pula aku membandingkan negara Indonesia dengan Jepang. Ya, sebetulnya memang enggak apple to apple. Dan, aku sepakat bahwa setiap negara punya kekurangan dan kelebihannya sendiri.
Dari cerita Kak Nisa, aku baru menyadari bahwa negara yang rakyatnya makmur itu bukan dongeng semata. Bahwa di luar sana, ada, kok, penyelenggara negara yang betul-betul berpihak: adil, menjaga, dan melindungi rakyatnya. Menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.
Baru tiga hari lalu aku membaca berita bahwa PM Jepang mengundurkan diri. Aku lumayan kaget karena beberapa hari sebelum berita itu muncul, aku lumayan dibuat kagum oleh pemerintah Jepang yang diceritakan Kak Nisa.
Salah satunya adalah ketika pemerintah Jepang memberikan uang 10 juta rupiah kepada penduduknya, baik warga negara Jepang maupun imigran. Hasil pajaknya pun dialokasikan untuk hal-hal yang betul seperti fasilitas umum. Setiap desa atau daerah pasti punya satu taman yang dibuat oleh pemerintah.
Padahal, kebijakan-kebijkannya baik. Akan tetapi, saat ini Jepang memang sedang dilanda masalah vandalisme. Mungkin hal ini yang membuat PM Jepang pada akhirnya mengundurkan diri karena merasa kurang bertanggung jawab.
Well. Sebetulnya aku enggak mau membandingkan. Namun, kenapa pemerintah kita enggak bisa seperti itu? At least, punya rasa tanggung jawab!
Ada satu hal menarik yang disampaikan Kak Nisa ketika dia bertanya soal kenapa di Indonesia korupsi merajalela? Sejak kecil, kita selalu diajarkan cara korupsi dari hal paling sederhana. Saking sederhananya, terdengar sepele. Saking sepelenya, korupsi terdengar lazim.
Waktu kecil pasti pernah, disuruh beli garam di warung. Dikasih uang 5000, harganya hanya seribu, tetapi bilangnya 3000. 2000-nya buat beli Yupi. Sederhana, kan? Namun, itu korupsi. Sepele, tetapi tetap saja korupsi.
Dan, aku pernah melakukan hal itu juga pada waktu kecil. Artinya, korupsi sudah menjadi kebiasaan. Aku rasa format seperti itu pula yang terjadi dalam penyelenggara negara.
Bukan hanya korupsi. Kasus sogok menyogok pun sering terjadi dalam lini masyarakat. Ketika akan masuk sekolah atau kampus, enggak sedikit yang memilih untuk "membeli kursi", menyogok oknum yang menjadi pihak internal.
Terjadi pula dalam jajaran para pejabat. Ketika sumber daya alam dikeruk habis oleh elit enggak punya empati. Para pejabat menjadi oknum yang melegalkan pencurian sumber daya alam untuk kepentingan tertentu.
Hanya dengan uang. Hanya karena uang. Hanya untuk uang.
Terlihat betul para pengusa itu menjadikan uang sebagai goals, bukan tools. Menuhankan uang dan kemewahan, sampai-sampai humanismenya lemyap. Mampu membangun tembok tebal dan tinggi, sampai-sampai mendadak lupa caranya mendengarkan.
Bersembunyi sebagai pengecut dari kemarahan rakyatnya. Kabur sebagai manusia tanpa hati dari nyawa rakyat yang mati. Dasar, bo-doh.
Membiarkan aparatnya menangkap, memukul, menembak, menindas, melindas rakyatnya. Seakan-akan pejabat dan aparat bersekutu membunuh musuh. Membunuh harapan bangsa, masa depan bangsa, dan membunuh nyawa bangsa.
Bersatu menjadi pembunuh. Soekarno sudah memperingatkan, lebih sulit melawan bangsa sendiri. Melawan orang-orang berdasi yang manusiawinya perlu dipertanyakan. Melawan orang-orang yang menga di kursi kekuasaan. Orang-orang enggak tahu diri yang berkhianat.
Ya. Paling enggak, kita sudah berjuang selama dua pekan ini dan masih akan terus mengawal. Meski rasanya harapan itu terkikis. At least, jangan ada kata menyerah. Kita enggak boleh membiarkan keturunan dan generasi mendatang hidup dalam negara yang sistemnya bobrok.
Indonesia emas yang cemas. Cepat pulih.
Posting Komentar