Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Loneliness: Teman Karib yang Bijaksana

Loneliness friend

TIBA-TIBA dumia berhenti. Enggak lagi berputar seperti yang seharusnya. Suara deru kendaraan yang biasanya lalu lalang seakan-akan mengerem mendak. Angin pun enggan berkutik meski seembus. Tanpa aba-aba semuanya berhenti berjalan. Sesuatu menyusup ke pikiran. Ada bisikan lirih yang meremang. Bisikan yang menguasai pikiran dan mengempaskan yang ada menjadi enggak ada.

Sebelumnya perasaan ini pernah hadir. Pernah menjadi momok yang menakutkan. Namun, yang kali ini ... rasa-rasanya aku sedikit enggak peduli. Aku menyerahkan diri pada keadaan yang mendadak berhenti. Sunyi. Kutarik napas, Kemudian kuembus pelan. Tanpa dipinta, sesuatu yang menumpuk di paru-paru—begitu sesak dan penuh—ikut beriringan dengan embusan napas melebur bersama udara.

Ah, ya, seenggaknya ada satu hal yang masih tetap berjalan. Udara. Masih bisa bernapas. Masih bisa berpikir.

Beginikah rasanya menerima keadaan pikiran yang kesepian? Beginikah rasanya menyerahkan diri pada kekosongan yang menerjang? Dan, beginikah rasanya masih bisa menghirup udara segar di tengah kesumpekan? Rasanya lebih nikmat daripada ketika aku terus-menerus menghardik kesepian. Rasanya jauh lebih santai daripada ketika aku menyalahkan keadaan pikiran yang sepi. 

Rasanya jauh lebih baik.

Ternyata ketika kita belajar menerima sesuatu yang kita anggap enggak baik pun, kadang bebannya akan berkurang. Beda hal kalau hal negatif tersebut sifatnya kriminalitas dan merugikan. Sementara, kesepian enggak akan merugikan selama kita bisa berdamai untuk kemudian mencari solusi. Akan selalu ada pemicunya, bukan tanpa sebab. Kalau kesepian datang tiba-tiba, bisa jadi, ada emosi yang masih tersimpan di alam bawah sadar dan enggak kita sadari.

Jadi, tergantung pada respons kita menghadapi kesepian. Kalau dari pengalaman aku, berusaha menyalahkan keadaan hanya akan membuat kita merasa dibelenggu kesepian tanpa ujung. Sementara, kesepian akan menjadi teman karib yang bijak ketika kita mau menerimanya. Teman karib yang bijak gimana maksudnya? Iya. Tahu enggak, sih, bisa jadi kesepian datang untuk mengingatkan dan menasihati kita untuk lebih produktif dan mengenal diri sendiri.

It’s about point of view.

Cara Aku Berteman dengan Kesepian

Aku yang sekarang, bukan lagi aku di masa lalu. Secara fisik mengalami perubahan, begitu pun cara berpikir. Ya, meskipun aku enggak se-amazing itu, kok, tetapi at least aku mengalami perubahan yang lebih baik. Soalnya, aku anti membandingkan diri dengan orang lain. Better membandingkan diri dengan diri sendiri di masa lalu. Dan aku mendapati perbedaan terhadap respons kesepian.

Sekarang aku menganggap kesepian adalah teman karib yang datang di waktu-waktu tertentu. Aku mesti bersikap baik karena dia datangnya kadang-kadang. Sekalinya datang, dengan bijak memberikan nasihat dan pengingat. Seperti yang sebelumnya sudah aku bahas, bahwa kesepian itu hal normal yang semua orang pasti alami. Namun, setiap orang punya cara sendiri dalam merespons kesepian.

Iya aku tahu, kok, kesepian itu rasanya enggak enak betul. Akan tetapi, cobalah untuk menelaah dan luaskan sudut pandang. Cari sisi positif dari sesuatu yang kita anggap negatif. Lagi pula, enggak ada teman yang sempurna, kan? Begitulah kesepian.

Dan, aku sudah menemukan kegiatan dan langkah yang bisa kulakukan bersama teman karibku yang bijak itu!

Teman karib yang bijaksana

Turn Off Almost All Notifications

Aku sudah lupa kapan waktu pastinya untuk memutuskan mematikan hampir semua notifikasi aplikasi di ponsel. Awalnya, sih, sengaja mengaktifkan seluruh notifikasi aplikasi. Akan tetapi, lama-lama aku merasa cape. Kenapa? Karena aku selalu mendapatkan harapan kosong dari notifikasi. Dulu aku berharap seseorang yang aku suka menghubungi aku. Nyatanya, nol, aku makin cape.

Mengaktifkan seluruh notifikasi aplikasi ponsel pun hanya membuat aku makin merasa kesepian. Untuk apa notifikasi ramai, tetapi enggak ada satu notifikasi pun yang berisi kepedulian terhadap diriku. Untuk apa notifikasi ramai, tetapi enggak ada interaksi yang intens dengan orang lain di media sosial. Keramaian notifikasi yang terus-menerus berbunyi, makin menyiksaku. Dan, sudah saatnya untuk menonaktifkan seluruh notifikasi beberapa tahun belakangan.

Bukannya kalau keadaan ponsel senyap, justru akan menimbulkan kesepian yang lebih parah, ya?

Enggak! Seperti pada tulisan di postingan sebelumnya. Kesepian itu bukan tentang kita terlalu lama sendiri. Kesepian adalah ketika kita merasa enggak diinginkan, enggak dianggap, atau bahkan enggak ada satu pun yang peduli. Jadi, mengaktifkan notifikasi hanya membuat aku makin tersiksa karena selalu berharap pada kekosongan. Jadi, jelas saja, menonaktifkan hampir seluruh notifikasi di ponsel adalah jalan ninjaku!

Kecuali WhatsApp. Tentunya. Alhamdulillah, dua tahun belakang mulai “disibukkan” dengan “kerjaan” di komunitas literasi daring. Semua operasional dan kominikasi berpusat di aplikasi WhatsApp. Produktivitas ini pula yang membuat aku lebih bisa mengatasi kesepian.

Focus on Productivity!

Pengangguran yang punya privilese, enggak ada alasan buat males-malesan! Jadi orang mesti ada manfaatnya, at least untuk diri sendiri, deh. Lagi-lagi aku bersyukur, di tengah tingkat pengangguran di Indonesia yang masif. Aku masih bisa melakukan hal yang aku mau dan suka: menulis, membaca, membuat konten.

Padahal, dulu, aku enggak pernah punya ekspektasi apa lagi bayangan kehidupan aku di masa depan. Namun, ternyata Allah Maha Baik, Allah Maha Penyayang Lagi Maha Pengasih memberikan aku rezeki dan kenikmatan yang luar biasa. Pernah dengar, kan, bahwa waktu luang adalah kenikmatsm dari Allah?

Kenikmatan yang baik adalah ketika kita menggunakannya dengan baik dan bijak.

Ketika kesepian datang. Aku makin erat dengan kegiatan produktif aku. Seperti bertugas volunteering di Komunitas 30 Hari Membaca. Aku juga berusaha untuk konsisten mengaktifkan personal blog ini supaya ada kehidupan. Dengan begitu, “perjalanan sepi”-ku bermanfaat bagi banyak orang dan juga diri sendiri. Hidup terasa lebih mindfulness.

Change Scrolling with Reading

Aku akan merasa enggak berguna banget kalau waktu luang dihabiskan untuk scrolling doang. Memang betul, ya, bahwa media sosial dirancang memiliki efek adiksi yang bikin penggunanya bisa lupa waktu. Jadi tantangan tersendiri untuk bisa mengendalikan diri sendiri. Apa lagi kesepian datang, duh, berat masalahnya!

Pasti kamu pernah mengalami fenomena, ketika buka media sosial, ada beberapa konten yang relevan dengan kondisi kamu saat itu. Iya, kan? Sama, aku juga pernah! Hal ini karena sistem aplikasi media sosial bisa merekam gerak-gerik kita di ponsel, bahkan bisa mendengar suara kita, lo! Begitu pun saat kita kesepian, mungkin kita menulis sesuatu di memo/notes tentang perasaan kita. Ketika buka media sosial, muncul konten tentang kesepian yang bikin kita sedih.

Sebetulnya kalau kita punya self control yang baik, enggak apa-apa, sih. Akan tetapi, kita tetap perlu memasang batasan. Kalau yang aku lakukan, mengubah scrolling dengan reading. Sesekali scrolling media sosial, tetapi lebih banyak membaca buku. Terbukti kegiatan membaca sangat menopang produktivitas aku seperti menulis dan juga membuat konten. Membaca membuat keadaan pikiran jadi sibuk. Sebab, kesepian muncul dari keadaan pikiran.

Don’t Expect Something or Someone!

Salah satu hal yang memicu kesepian adalah karena kita enggak mendapatkan kebutuhan emosional dari orang lain. Sehingga memicu keadaan pikiran kita untuk berpikir bahwa kita enggak dibutuhkan orang lain. Kita merasa enggak dianggap, merasa enggak layak, merasa enggak diinginkan, meskipun kita berada di tengah lautan manusia. Begitulah cara kesepian bekerja.

Nahasnya, ketika kita enggak menyadari bahwa kita sedang kesepian. Ketika kita enggak menyadari konsep kesepian. Pikiran menuntut diri kita untuk berekspektasi. Berekspektasi akan ada seseorang yang peduli dan menganggap kita ada. Berekspektasi akan ada seseorang yang dapat menghargai kita. Namun, nyatanya kita enggak mendapatkan semua itu.

Kenapa?

Kesepian itu bukan tentang ketidakhadiran seseorang dalam hidup. Kesepian adalah kebutuhan emosional dan validasi dari orang lain enggak terpenuhi. Sebagai manusia, kita memang perlu orang lain untuk memenuhi kebutuhan dasar emosional dan validasi diri kita. Namun, apakah kita lupa, betapa kita punya diri sendiri untuk memenuhinya lebih dulu?

SEBETULNYA ada beberapa hal lagi yang aku lakukan, tetapi tiga poin di atas jadi best points-nya. Rasa kesepian harus diatasi dengan baik. Mulai dari mengubah perspektif. Mengisi kesepian dengan kegiatan bermakna. Mengambil langkah dan menentukan sikap yang baik.

Ada juga yang lebih penting. Perasaan kesepian yang sulit dikendalikan akan memicu low self esteem, perasaan enggak berharga. Mungkin kita enggak mendapatkan validasi dari orang lain. Akan tetapi, bisa jadi rasa kesepian datang untuk mengingatkan sudah saatnya Belajar menghargai diri sendiri. Jangan menunggu orang lain untuk menghargai diri kita, tetapi mulai dari diri sendiri untuk bisa menghargai diri sendiri.


Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar