PEKAN LALU, Diskusi LENTERA yang sering diadakan oleh Komunitas 30 Hari Membaca pada hari Selasa. Mengusung topik tentang penjara pikiran. Konteks yang dibahas adalah ketika diri kita dipenjara oleh pikiran negatif. Sehingga memicu perasaan rendah diri dan ketidakmampuan dalam mencapai kapasitas yang lebih tinggi lagi. Merasa cukup hanya dengan belajar basic. Bilangnya berhenti, padahal menyerah.
Menjadikan diksi “berhenti” sebagai alibi untuk menutupi ketidakmampuan diri untuk melangkah lebih jauh lagi. Padahal, kita baru boleh bilang enggak mampu setelah berusaha berkali-kali, kan? Ini baru coba satu sampai dua kali sudah menyerah, berdalih dengan alasan, “Udah, deh, otak gue enggak bakal nyampe!”—begitu kata si aku yang pesimis.
Padahal aku selalu berkampanye betapa pentingnya blajar berkembang, mengembangkan diri ssndiri menjadi orang yang valuable. Namun, sering kali fenomena penjara pikiran itu datang untuk memblokir akses eksplorasi diri. Alhasil, stuck di situ-situ saja, enggak ada perkembangan sama sekali. Motivasi yang kurang kuat dan ditambah suka merendahkan diri sendiri.
Bisa dikayakan, pikiran aku masih belum merdeka . banyak aspek di hidup aku yang enggak mengalami perkembangan.
Pertama soal bermain gitar. Motivasi aku belajar gitar dipicu oleh perasaan iri—in a good way—karena semua saudara kandung aku bisa bermain gitar. Adik bungsuku bahkan sudah bisa lebih dulu daripada aku, padahal, kan, aku yang lahir duluan!—ini asumsiku waktu masih remaja, kok. Akhirnya coba belajar sendiri di rumah pada rentang 2016—2017, ini masa baru lulus SMA.
Kebetulan di rumah menganggur, ada gitar menganggur. Menganggur + memganggur = produktif. Mulai belajar gitar mengandalkan kertas berisi kumpulan tab chord. Namun, karena baru pemula aku masih belajar basic chord: C, G, Am, F, Em, E, Dm, D, A.
Satu lagu pertama yang akhirnya memvalidasi dan memberi signs bahwa aku sudah lancar bermain gitar adalah Everything Has Changed (Taylor Swift ft. Ed Sheeran). Ingat betul, waktu itu sedang duduk di pintu dapur, di atas pangkuan terdapat buku yang berisi tab chord lagu tersebut. Setelah belajar berbulan-bulan, pada titik itu bisa dengan lancar ubah chord, pindah chord, dan strumming.
Masalahnya, karena aku sudah kepalang senang dan puas karena at least bisa main gitar meski hanya basic chord, aku merasa enggak perlu lagi untuk upgrade skill. Akhirnya aku enggak berkembang dan di situ-situ saja.
Okelah bisa dimaklumi kalau hanya sebagai hobi. Dan masalahnya—lagi—sikap seperti itu terbawa pada objek lain yang sangat potensial.
Kedua, soal kemampuan menulis. Sebetulnya suka menulis sejak kecil. Baru intens mempelajari kaidahnya sejak tahun 2019. Mulai dari kaidah kepenulisan hingga tata bahasa. Ngomongin soal penggunaan imbuhan, kata baku, dan semacamnya, bolehlah. Akan tetapi, kalau sudah ngomongin kalimat efektif dan kausalitas sebuah konteks, sampai sekarang aku masih belum menguasainya.
Merasa sudah cukup dengan kaidah dasar, padahal ada tata bahasa yang lebih kompleks dan esensial.
Enggak hanya itu, masih dalam soal kepenulisan. Jenis tulisan pertama yang aku pelajari adalah fiksi. Dari situ aku memahami dasar dalam menulis fiksi: membuat premis, merancang penokohan, membangun latar dan suasana. Dua hal yang masih belum bisa kulakukan adalah menyusun outline dan mengekspresikan cerita. Jeleknya, aku berasumsi bahwa aku memang enggak cocok menulis fiksi, jadi enggak perlu dilanjut. Padahal kita baru bisa berasumsi setelah semua step dicoba.
Ketiga, soal blogging. Oke, Setelah satu tahun berhenti dari dunia kepenulisan, akhirnya aku belajar nge-blog di komunitas. Di sini aku merasa menemukan “roh” aku dalam menulis. Sebelumnya karena aku merasa enggak mampu menulis fiksi,.Maka platform semacam Wattpad, Karya Karsa, Kwikku, dsb, jadi enggak relevan untuk aku. Dan, enggak ada tempat menulis yang bisa aku ekspresikan. Instagram saat itu membatasi jumlah kata pada takarir. Namun, semenjak belajar dasar blog, hingga akhirnya dapat melahirkan satu blog. Dengan yakin, aku berkata, “Nonfiksi adalah jodohku dalam menulis!”—padahal, saat itu aku hanya suka membaca fiksi.
Ya, dan masalahnya adalah ilmu blogging aku hanya sekadar paham dasar blog saja dan sedikit mengatur tata letaknya. Sementara untuk next level: memahami GSC, GA, Riset Keyword, dan SEO (di luar on/off page), masih belum bisa aku kuasai sampai saat ini. Satu lagi, Konsisten menulis blog pun jarang. Dan, sekaerang aku sedang kembali mencoba konsisten post blog.
Jadi, semacam, semua yang aku pelajari itu stuck di basic, merasa enggak mampu untuk mencapai titik next level. Sebetulnya sudah berusaha untuk mencoba, tetapi baru dicoba langsung minder karena enggak paham. Padahal, berproses, kan, butuh tekun dan gigih. Padahal, sesuatu yang bisa, terkadang dimulai dari enggak bisa lebih dulu. Wajar kalau aku enggak berkembang karena enggak berani memulai menuju next level. Memilih menyerah pada penjara pikiran yang mnembelenggu diri untuk punya high value.
Setelah ditelusuri, semua itu bukan tanpa alasan. Ternyata aku masih mencari afirmasi dan validasi dari orang lain. Selama ini pergerakan aku masih dipicu oleh orang lain. Selalu menunggu orang lain untuk memantik konsistensi dan pergerakan next level. Dan, ketika aku kehilangan afirmasi dan validasi dari orang lain, lantas aku enggak berbuat apa pun. Apa lagi kalau sudah dikritik, langsung merasa enggak layak. Dasar lemah.
Memang, ya, sesuatu yang bersumber dari pikiran itu sangat berdampak terhadap emosional dan tindakan. Penjara pikiran salah satunya. Ketika kita memenjarakan pikiran pada sebuah pemahaman bahwa validasi dari orang lain adalah yang utama. Walaupun memang pada dasarnya kita adalah manusia yang membutuhkan validasi dari orang lain. Akan tetapi, bukan berarti kita menjadikan validasi dari orang lain sebagai alasan utama untuk berkembang.
Ketika kita memenjarakan pikiran bahwa penilaian dari diri sendiri enggak penting. Motivasi dari diri sendiri enggak ada nilainya daripada motivasi dari orang lain. Namun, anehnya, ketika kita mengabaikan afirmasi malah memberikan perhatian lebih pada dari diri sendiri, tetapi kita mau memberi perhatian lebih pada penilaian negatif dari diri sendiri. Bahwa penjara pikiran membuat kita bahkan bersikap enggak adil terhadap diri sendiri.
Maka, susah saatnya untuk memprioritaskan diri sendiri dalam berproses dan mencapai tujuan. Akan tetapi, bukan berarti lantas kita mengabaikan afirmasi ataupun penilaian dari orang lain tentang proses yang sedang dilalui. Artinya kita perlu memberi perhatian sesuai dengan porsi. Tentang bagaimana afirmasi dan validasi dari orang lain dijadikan sebagai masukan, bukan acuan. Dan mengembalikan kepada diri sendiri untuk mengambil langkah dan keputusan yang besar.
Ketika kita menjadikan orang lain sebagai acuan untuk menanamkan diri, lantas apa bedanya kita dengan robot yang dikendalikan oleh manusia?
Posting Komentar