Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Yang Datang, Belum Tentu Punya Kita

Yang Datang, Belum Tentu Punya Kita

JANGAN pernah berharap kepada orang lain untuk menetap. Nyatanya, aku mengharapkannya untuk menjadi bagian dalam hidupku selamanya. Jangan pernah mengharapkan seseorang untuk memilih kita. Nyatanya, aku berharap seseorang itu menjadikan aku teman dalam menghadapi petualangan hidup. Jangan pernah berharap, nanti kecewa. Namun, akhirnya kecewa juga.

Paling menyebalkan adalah ketika harus menghadapi hari-hari dengan rasa kecewa yang memupuk. Tentang bagaimana kita bisa menetralisir kembali emosi yang amburadul. Betapa sakitnya mengembalikan hati yang telah patah. Dan, semua itu sering kali datang dari harapan dan ekspektasi. Adalah sebuah petaka bagi harapan dan ekspektasi yang sifatnya sepihak.

Berbicara tentang seseorang yang datang dalam kehidupan kita. Kita menganggap setiap orang yang datang, pasti akan bertahan selama mungkin. Apa lagi bagi orang-orang yang hidupnya lebih banyak ditemani kesepian, ekspektasinys membabi buta. Berharap yang datang akan menjadi punya kita. Apa lagi jika yang datang memberikan arti dan cerita bermakna.

Itu kesalahan. Bukan, yang salah bukan yang datang. Kesalahan adalah ketika kita berasumsi yang datang, hadir untuk selamanya. Kesalahan adalah ketika kita yakin kehadirannya adalah jawaban atas harapan sepi. Kesalahan adalah ketika mengharapkan dan berekspektasi bahwa orang yang datang akan menjadikan kita rumah untuknya pulang dan menetap.

But ... people come and go!

Bukankah begitu siklus hidup berjalan? Akan tetapi, mengapa kita masih mengabaikan siklus hidup tentang seseorang yang datang bisa saja pergi suatu saat ...?

Beberapa hari lalu aku mendengarkan sebuah kutipan dari kanal YouTube story teller. Kutipannya berbunyi: “Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya.”. S, Satu kalimat yang membuat aku ke-triggered. Seperti ada sesuatu yang memukul-mukul ulu hati aku. Seakan-akan kenyataan sedang menggedor-gedor pintu halusinasi aku. Seperti teriakan berisi peringatan keras, sampai-sampai gendang telinga berasa ingin meledak.

Menyadarkan aku dari pikiran yang suatu hari bisa saja menjebakku kembali bersama kekecewaan.

Aku merenung. Mempertanyakan perasaan dan pikiran aku sendiri saat ini. Tentang apakah aku mengharapkan seseorang? Tentang apakah aku tengah mendambakan seseorang? Tentang apakah akhir dan ujungnya akan sama? Apakah benar seseorang yang datang ini memiliki masa yang sebentar? Apakah seseorang ini datang untuk masa selamanya? Atau bagaimana jika seseorang ini sama saja seperti seseorang lainnya, datang untuk masa-masa yang sepi ...?

Aku kembali meragukan diri aku sendiri yang sok pemberani dan sok kebal terhadap patah hati. Aku tahu risiko dan konsekuensinya. Aku pernah merasakan kekecewaan karena harapan dan ekspektasi aku sendiri. Bahkan aku sudah mempelajari bagaimana akhirnya aku bisa menerima realitas. Akan tetapi, dihadapkan dengan sesuatu yang enggak pasti, rasanya masih begitu menakutkan. Bagaimana kalau yang sudah-sudah, kembali hadir menjadi ujung yang jauh lebih menyakitkan?

Aku sadar, yang salah bukan seseorang, melainkan harapan dan ekspektasi yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri aku. Nyatanya aku masih belum bisa menghentikan arus perasaan yang begitu dalam. Jauh di lubuk hati, nyatanya aku masih dan akan selalu membutuhkan seseorang untuk mengisi ruang yang sejak lama kosong. Namun, di sisi lain aku paham betul, betapa enggak semua hal yang datang adalah soal perasaan. Aku enggak mau melibatkan orang lain atas obsesiku untuk memiliki seseorang dalam hidupku.

 I need someone, but there's no one who needs me!

Maafkan aku. Aku tahu akar masalahnya dari mana. Akan tetapi, sulit bagi aku untuk bisa menetralisir pikiran yang salah. Susah payah bagi aku untuk menganggap, enggak semua orang yang datang sudah pasti menetap. Aku butuh waktu untuk memahami bahwa singgah atau berlabuh juga bagian dari konsep kedatangan. Aku masih belajar untuk bersabar bahwa akan ada masanya seseorang datang dengan alasan akhirnya dia menemukan rumah untuk pulang dan menetap.

 Terkadang aku membenci diri aku sendiri. Ketika aku enggak mampu menahan dan menjaga diri dari perasaan tanpa dasar. Begitu mudahnya menjatuhkan hati. Begitu rapuhnya ketika hati seolah-olah digenggam. Begitu bodohnya ketika hati dikembalikan karena ini bukan perkara perasaan, melainkan formalitas. Apa aku harus menutup pintu bagi orang-orang yang datang? Bukankah itukah kanak-kanakkan?

Lagi pula, lagi lagi, yang salah bukan yang datang, yang salah aku. Salah sendiri menjadikan seseorang sebagai satu-satunya entitas dalam mengisi kekosongan. Ini adalah derita paling menyebalkan sekaligus menyakitkan. Derita harus menelan kepahitan berkali-kali karena harapan dan ekspektasi yang melenceng. Aku enggak tahu, kapan semua ini akan berujung? Ada kalanya aku meragukan, rasa-rasanya enggak ada satu pun orang yang akan menetap.

Apakah rumah aku jelek? Mungkin cat dinding terlalu monoton, ya? Apakah perlu aku tambah tumbuhan yang cantik di teras rumah? Ah, atau mungkin perlu menata ulang kembali perabotan, bila perlu alih fungsi ruangan? Tunggu sebentar, Apakah ada cacat di rumah yang membuat seseorang enggak memilih untuk bertahan selamanya? Meskipun aku memastikan semuanya sudah aman, tetapi rasanya masih belum nyaman.

Kan. Lagi-lagi aku keliru! Yang salah bukan rumahnya, tetapi aku yang terlalu cemas.

Please. Perasaan ini betul-betul membuatku muak. Seperti orang bodoh yang mengemis cinta. Kadang-kadang aku cemburu pada rumah-rumah yang sudah berisi dua hati. Padahal aku tahu, kok, bahwa semua ini tentang waktu. Aku hanya perlu bersabar sampai aku betul-betul menemukan the right one. Iya, kan? Memang dasar enggak sabaran!

Emm ... tetapi salah enggak, ya, aku menutup pintu dan membukanya hanya untuk seseorang yang datang betul-betul untuk menetap? Jadi, aku enggak menutup sepenuhnya. Aku hanya menyaring. Aku pikir ini akan menjadi salah satu solusi untuk menekan arus harapan dan ekspektasi yang membabi buta terhadap orang lain. Soalnya aku cape terus-menerus menyalahkan diri sendiri karena enggak ada yang salah dari orang lain.

Meskipun aku sudah biasa berujung sendirian. Akan tetapi, jika kembali terjadi berulang kali, rasanya pun akan sama, bahkan akan jauh lebih memilukan. Meskipun aku sudah biasa dianggap hanyalah persinggahan. Akan tetapi—aaaa, enggak semua yang singgah itu datang untuk memberikan hatinya! Pahami, dong! Jangan terus menyakiti diri sendiri dengan asumsi dan persepsi yang enggak berdasar, lebih kepada ilusi! Jangan terlalu percaya diri! Ambil kaca, sadar diri!

Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya; Seseorang yang datang lalu pergi, itu adalah rumus dari siklus kehidupan; Bahwa Angga semua yang datang akan menetap; Kehadiran enggak melulu perkara hati.

Dan, jangan pernah menyalahkan orang lain atas harapan dan ekspektasi yang sifatnya hanyalah asumsi dan persepsi tanpa dasar. Akan tetapi, bukan berarti kita leluasa menyalahkan diri sendiri atas harapan dan ekspektasi yang liar. Pada akhirnya, semua ini tentang bagaimana kita bisa mengatur harapan dan ekspektasi sesuai porsinya. Dan, yang paling penting adalah kita harus belajar, betapa yang datang, belum tentu punya kita. Sebab, seseorang yang datang untuk kita, pasti datang di waktu yang tepat.


Posting Komentar