SALAH SATU alasan aku suka mendengarkan adalah karena barangkali aku bisa menemukan *miracle of life*. Sebuah keajaiban yang datangnya hanya dari Tuhan. Bahwa ketika kita melibatkan Allah dalam segala keputusan, maka Allah memberikan keajaiban dengan tangan-Nya. Potongan hidup, meski secuil, nyatanya menimbulkan syukur tanpa ujung.
Beberapa hari lalu, datang sebuah cerita dari seorang perempuan. Ketika aku meminta izin untuk mempublikasikan ceritanya, dia meminta namanya untuk disamarkan. Sempat bingung untuk menentukan nama samaran yang tepat: Mawar? Esmeralda? Corla? Emm, kurang tepat semua. Setelah berpikir panjang, aku akan menamainya Fulanah.
Slice of Life's Fulanah: Ketika Kita Melibatkan Allah
Namanya Fulanah, biasa disapa Lana. Juni lalu, perempuan yang baru satu tahun wisuda ini berniat untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Memang, baru terhitung hampir lima bulan mengajar di sekolah tempatnya bekerja. Qadarullah, Lana lebih dulu menerima kabar dari pihak sekolah bahwa dirinya sudah tidak bisa lagi bekerja di situ.
Alhamdulillah, setidaknya Allah mendengarkan keinginannya, kan? Pasca melepaskan pekerjaan tersebut, Lana tidak sepenuhnya menganggur, kok. Sejak masih kuliah, sampai saat ini, Lana masih menjadi guru di Rumah Tahfiz. Akan tetapi, bukannya tidak bersyukur, namanya manusia butuh berkembang, kan?
Per Juni sampai awal Agustus lalu, Lana tidak berhenti berusaha. Dia terus-menerus mengirim surat lamaran ke berbagai lembaga pendidikan untuk mengajar. Beberapa kali pula perempuan mungil itu dipanggil *interview* dan mengikuti seleksi. Namun, berkali-kali pula kegagalan menjadi hasil dari setiap usaha. Dan, itu bukanlah masalah karena kegagalan menjadi aspek yang membantu manusia mengembangkan diri asal dia tidak menyerah.
Dan, Fulanah tidak menyerah. Dia selalu berserah kepada Allah.
Suatu hari, Lana kembali mengirim lamaran ke beberapa tempat. Beberapa hari kemudian, dia dipanggil *interview* oleh salah satu yayasan pendidikan yang mirip dengan Rumah Tahfiz. Alhamdulillah, dia diterima untuk bekerja di yayasan tersebut. Hari Sabtu, tanggal 2 Agustus, dia akan menghadiri pembekalan sebelum mulai mengajar di hari Senin.
Masalahnya adalah di hari yang sama, Lana juga memiliki jadwal untuk mengikuti tes seleksi dari sebuah sekolah untuk bisa mengajar.
Baik pembekalan di yayasan maupun tes seleksi di sekolah memiliki rentang waktu yang lumayan dekat. Tes seleksi dimulai pukul 7.30, sementara pembekalan dimulai pukul 8.30. Tidak mungkin, dong, seleksi hanya berlangsung satu jam? Lana sudah mencoba meminta keringanan kepada pihak yayasan untuk datang terlambat. Namun, pihak yayasan dengan tegas mengatakan bahwa jika terlambat otomatis akan gugur.
Bagi Lana, ini adalah pilihan yang sulit. Kalau mau berpikir realistis, ya, pilihannya mudah karena dia sudah resmi menjadi guru di yayasan pendidikan. Sementara, seleksi dari sebuah sekolahan ini merupakan bagian dari tes, artinya ada dua kemungkinan: lolos atau tidak.
Pertimbangan utuh semuanya berorientasi pada pengembangan diri dan *upgrade* level. Dikarenakan Rumah Tahfiz dan yayasan tersebut merupakan lembaga yang memiliki kesamaan. Namun, Lana menginginkan tempat yang lebih *next level*, seperti bekerja di sebuah sekolah. Oleh karena itu, Lana merasa dirinya perlu fight untuk mengikuti tes seleksi dan mengorbankan yayasan yang sudah pasti menerimanya.
Aku memahaminya, kok, terkadang hidup memang butuh pengorbanan, kan? Aku juga menyampaikan—sebagai bahan pertimbangan—kepada Lana dengan berujar, “Seenggaknya sebelum lo ambil keputusan, lo cek dulu risiko dan konsekuensi dari masing-masing pilihan itu. Kira-kira mana yang lebih minim? Mana yang bisa lo hadapi? Supaya nanti bisa antisipasi kalau kecewa.”
Aku tidak mengajak Lana untuk suuzan, ya, tetapi kita perlu menyiapkan antisipasi dan tetap berusaha untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Pertimbangan ini cukup membingungkan bagi Lana. Ibunya pun menyarankan untuk tetap lanjut pembekalan saja. Akan tetapi, hatinya bertaut pada sekolahan tersebut. Dia punya harapan untuk mengajar di sekolah tersebut. Dia punya harapan untuk bisa belajar dan berkembang di sekolah tersebut. Sejatinya, itulah yang dia inginkan: menjadi guru di sebuah sekolah resmi.
Dengan keyakinan yang teguh dan siap terhadap risiko serta konsekuensi, Lana memutuskan untuk merelakan yayasan yang sudah menerimanya dan lanjut tes seleksi di sebuah sekolah. Sebuah keputusan yang penuh risiko, sebetulnya. Berkali-kali lamaran sana-sini, tetapi tidak ada satu pun yang memanggilnya. Sekalinya ada lamaran yang menerimanya, Lana dihadapkan dengan sebuah pilihan yang sama-sama berisiko. Akan tetapi, karena Lana memiliki keinginan kuat untuk belajar, berkembang, dan *upgrade* level, dia perlu berkorban untuk tes seleksi.
Dalam setiap pilihan dan keputusannya, yang paling penting adalah Lana melibatkan Allah. Lana menyerahkan hasil kepada Allah. Lana tahu kalau dia tidak lolos seleksi, artinya dia harus berjuang kembali untuk mengirim lamaran lagi. Akan tetapi, Lana percaya bahwa jika dia lolos di sekolahan tersebut, dia akan banyak belajar dan berkembang di sana. Perempuan tersebut sudah memiliki rencananya sendiri.
Begitulah, manusia berencana, Tuhan menentukan.
Di tengah-tengah penantian, akhirnya Lana mendapatkan kabar terkait hasil tes seleksi. Dia berkata kepadaku melalui pesan, “Alhamdulillah, ternyata gue belum lolos seleksi, Yuv.”
Iya, kamu tidak salah baca, kok. Kadang kegagalan perlu disyukuri juga. Hal ini menunjukkan bahwa Lana telah berserah dan siap terhadap risiko dari keputusan yang diambil. I know that feel. Selanjutnya dia harus berkutat kembali dengan lamaran pekerjaan. Rasanya memang begitu patah hati. Namun, aku mencoba memberikan semangat bahwa Allah pasti punya rencana yang lebih baik.
Pernah dengar bahwa rezeki itu tidak akan ke mana-mana?
Hari berikutnya, Lana mendapatkan panggilan telepon dari pihak yayasan sebelumnya. Akan tetapi, sayangnya dia tidak sempat mengangkat. Siang harinya, pihak yayasan kembali menelepon, tetapi lagi-lagi dia tidak sempat mengangkatnya. Jujur, aku sendiri agak sebal dengan Lana. Iya, sih, ketika telepon itu berdering, Lana sedang tidak memegang ponsel dan mengerjakan hal lain. Sebalnya, kenapa dia tidak menelepon balik? Padahal itu, kan, penting—maaf, ya, Fulanah, tetapi *at least* lo sendiri pun merasa bahwa ini adalah pelajaran yang double didapatkan.
Syukurnya pihak yayasan kembali menelepon dan untung Lana berhasil mengangkat. Ternyata pihak yayasan tersebut menawarkannya untuk bekerja di sana di sore hari. Namun, pada sore hari Lana sudah bekerja di Rumah Tahfiz. Kemudian pihak yayasan memaklumi dan mengatakan akan mengabarkannya kembali. Besoknya yayasan kembali mengabarkan bahwa Lana tetap diterima untuk bekerja di yayasan tersebut.
Di hari pertamanya bekerja, dia mengisi tiga kelas sekaligus. Lana bercerita memvalidasi terkait apa yang aku sampaikan padanya bahwa meskipun yayasan tersebut memiliki kesamaan dengan Rumah Tahfiz, akan tetapi secara *experience* pasti akan berbeda. Dan karena ini adalah rezeki dari Allah, bisa jadi Allah mau menunjukkan sesuatu kepada Lana di tempat tersebut.
It was just a simple slice of life, but I found a miracle in it. Bahwa tidak ada yang kebetulan di kehidupan ini, selama kita melibatkan Allah dalam segala keputusan dan setiap langkah. Pertolongan Allah itu nyata bagi mereka yang mengingat-Nya. Ketetapan Allah itu mutlak bagi hamba-Nya yang berserah.
Jujur, mendengarkan cerita Lana, aku merasa cemburu karena Allah memberikan perhatian dan kasih sayang kepadanya. Namun, aku juga merasa *amazed* dan terharu bahwa orang baik memang sudah selayaknya mendapatkan kepedulian Allah.
Bayangkan, ketika Lana sudah mengorbankan yayasan untuk tes seleksi, dan realitas tidak sesuai dengan harapannya. Kemudian Lana harus menghadapi hari-hari berjibaku dengan lamaran pekerjaan. Kembali pada penantian panggilan pekerjaan yang menjenuhkan. Namun, takdir Allah betul-betul menunjukkan kekuasaan-Nya. Ketetapan Allah hadir sebagai pelipur lara Lana.
Yayasan tersebut sudah jelas merupakan rezeki yang Allah berikan kepada Lana. Dan, keputusan yang kemarin diambil pun adalah keputusan yang tepat. Setidaknya, Lana memiliki pengalaman baru ketika mengikuti tes seleksi. Setidaknya, Lana sudah berusaha mencapai keinginannya. Justru pengalaman tersebut yang menyatakan bahwa Allah menolongnya. Sebab, Allah tahu apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya daripada hamba itu sendiri.
Posting Komentar