“TARIK NAPAS,” kata perawat setiap mereka akan mulai menyuntikkan obat ke dalam pembuluh darah. Mungkin bagi pasien dan perawat, frasa tersebut adalah hal biasa. Bagi aku, setelah tiga pekan melalui proses yang panjang, ternyata olah napas menjadi salah satu cara menghadapi keadaan. Sekarang begini, aku pribadi merasa sehat total. Sakit paling, ya, batuk, pilek, migrain, masuk angin, dll. Satu-satunya yang mengganggu hanya penglihatan aku yang kurang.
Ah, iya. Sebetulnya aku tidak bete, tetapi lumayan jengah setiap ditanya, “Ini keliatan enggak? Kok lihat hape bisa, ya?” Serius, aku bukan buta, cuma susah melihat. Susah melihat, bukan berarti tidak bisa melihat sama sekali. Hanya saja kalau dipikir-pikir, selama ini aku selalu menyebut ada bola hitam di bola mata kananku. Bagaimana kalau ternyata itu bukan bola hitam, melainkan kebutaan?
Setelah melakukan searching berkali-kali. Kebanyakan memang menyebutkan adanya gejala “kebutaan”. Tidak ada satu pun artikel yang menyebutkan “bola hitam”. Bisa saja, kan, ya? Soalnya aku pun masih tidak mengerti karena sebelumnya belum pernah buta. Syukurnya, “si buta”-nya hanya ada di bola mata kanan dan itu tidak sepenuhnya. Mata kiri aku pun setidaknya masih bisa melihat, meski sulit. Memang begitu, biar tidak terlalu mengenaskan, harus ada yang disyukuri.
Iya, sih, kita tidak pernah tahu, ya. Mungkin kita merasa sehat-sehat saja. Namun, kita tidak pernah tahu bagaimana aktivitas organ dalam kita sendiri, kan? Memangnya kita dapat merasakan aliran darah? Entahlah, apa pun yang terjadi dalam tubuh aku, berharap, sih, bisa disembuhkan. Dan, kalau memang tidak bisa disembuhkan, ya, diminimalisir dan dikontrol saja. Duh, jujur, ya, sampai saat ini aku masih agak speechless dan beradaptasi. Masalahnya itu di mata, tetapi mengapa penyebabnya bisa ke mana-mana.
•••
Kamis, 1 Mei 2025
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga! Sejujurnya aku lumayan overthinking soal MRI. Kira-kira rasanya sakit tidak, ya? Pertanyaan-pertanyaan pasien newbie memang begitu. Kalau aku cari tahu di Meta AI, MRI merupakan prosedur pencitraan medis yang menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar dari struktur internal tubuh. Nah, aku mikir, apakah ada efek setrumnya? Atau efek ketarik gelombang? Lumayan deg-degan, sih, cuma itu salah satu cara untuk dapat mengetahui sebetulnya apa benar di kepalaku ada sesuatu? Baru deh, bisa didiagnosis.
Meta AI juga menyebutkan salah satu prosedur MRI adalah dengan menyuntikkan zat kontras. Gunanya untuk meningkatkan hasil kualitas gambar yang lebih baik. Keren banget, ya, berarti nanti gambar struktur tulang tengkorak aku kualitasnya bakal HD+++ kali, ya? Ya, meskipun suntik lagi, suntik lagi. (:
Sebelum MRI, perawat memerintahkan aku untuk berpuasa mulai dari pukul tiga subuh sampai MRI selesai. Aku tetap diperbolehkan minum air putih, kok. Sempat, sih, kepikiran. Kalau sarapan bubur sebelum MRI, mungkin si bubur bakal kelihatan dari layar rekaman MRI mungkin, ya?
Perawat juga mengatakan MRI akan dimulai pukul sepuluh pagi di tanggal 1 Mei. Sekitar pukul sembilan, aku disuntik zat kontras terlebih dahulu. Kemudian, dibawa perawat ke ruangan untuk MRI menggunakan kursi roda. Serius, deh, aku sehat pol dan bisa jalan kaki, kok, walupun mesti dituntun. Menggunakan kursi roda membuat aku merasa seperti pasien yang tidak profesional. Sampai di gedung khusus MRI. Aku bingung, sih, ini masuknya gedung atau ruangan. Untuk ukuran gedung, tidak terlalu luas, tetapi ada beberapa ruangan. Untuk ukuran ruangan pun terlalu luas.
Untungnya, sih, ber-AC, jadi momen antrenya tidak panas. Seorang perawat keluar dari ruang MRI dan menghampiriku. O, iya, jadi dari tadi si Endan—adikku—ikut menemani, ya. Perawat bertanya soal apakah aku sudah menikah dan usiaku. Kemudian perawat menjelaskan, “Jadi, nanti Mbak di dalam MRI selama satu jam. Mbak enggak boleh bergerak sama sekali. Menunduk sedikit saja, kita ulang dari awal lagi.”
Jujur, aku merasa terbebani. Aku bertanya, “Sakit enggak, Mbak?”
“Enggak ada rasa apa-apa, kok. Paling ada suara-suara aja kayak tiit, teet, tuut,” jawab Perawat memberikan penjelasan, “kalau MRI itu enggak ada radiasinya, Mbak, cuma memang durasinya lebih lama. Kalau CT Scan memang lebih singkat durasinya, tetapi dia ada radiasinya.”
Aku mengangguk-angguk paham. Tiba-tiba Perawat menghentikan gerakan kakiku yang memang terbiasa bergerak. Sejak SD aku selalu disebut-sebut tukang jahit karena setiap duduk kakiku tidak bisa diam. Perawat nyeletuk, “Gerak-gerak seperti ini pun enggak boleh, ya, Mbak.”
INI ADALAH PRESSURE! Bayangin, hampir seumur hidup selalu menggerakkan kaki, kemudian dalam satu jam harus mendiamkan kaki. Ini lebih sulit daripada menahan sakit disuntik!
Setelah menunggu dua jam karena tadi harus menunggu dua antrean terlebih dahulu. Sekitar pukul 11.14 aku masuk ruangan MRI. Ruangannya terang sekali, seperti atapnya tidak memiliki atap. Dingin AC pun lumayan menusuk kulit. “Dingin banget, ya, Mbak?”
“Nanti kita pakaikan selimut yang lebih tebal, ya.” Perawat memintaku melepas kacamata dan jarum pentul. Sebab, saat MRI tidak boleh menggunakan perhiasan atau logam. Lagian aku tidak suka menggunakan perhiasan, bikin gatal. “Mbak mau request lagu apa?”
Sambil tiduran dan diselimuti aku menjawab, “Emm, lagu folk barat aja, Mbak.”
Iya. Jadi, ternyata selama MRI kita akan dipasang headphone untuk mendengarkan lagu supaya tidak terganggu dengan suara bising dari mesin. Aku mencari posisi tidur yang nyaman sebelum masuk ke dalam tabung. Mengingat aku tidak boleh bergerak selama satu jam ke depan. Untungnya, tabung MRI-nya memiliki tipe terbuka. Sebelum dimasukkan ke dalam tabung Perawat bertanya sambil terkikik, “Kakinya mau diikat enggak biar enggak gerak-gerak?”
Aku berpikir sebentar, “Boleh, deh.”
Selanjutnya untuk pertama kali aku merasakan rasanya di-MRI. Betul rasanya tidak sakit. Meskipun sudah mendengarkan lagu melalui headphone, aku masih bisa mendengar suara mesin MRI. Dan, sebetulnya tidak begitu mengganggu aku, kok. Kadang-kadang kasurnya maju mundur. Salah satu usaha kerasku adalah tidak bergerak sama sekali, even jentikan jari pun tidak digerakkan sama sekali. Aku hanya terus memejamkan mata karena khawatir ketika membuka mata aku akan bergerak. Membayangkan satu jam bukan waktu yang sebentar. Kakiku benar-benar aku pertahankan agar tidak bergerak sedikit pun.
Di tengah-tengah, perawat masuk untuk memberikan suntikan lagi. O, iya, sebelumnya perawat menginformasikan Bella akan ada dua sesi selama MRI. 30 menit pertama MRI polosan. Kemudian di menit ke-30 akan diberi suntik kan untuk memberikan obat dan masuk sesi MRI 30 menit terakhir.
Aku tidak tahu berapa lama, tetapi akhirnya kasur ditarik keluar dan MRI selesai. Gila. AKU BERHASIL TIDAK BERGOYANG SELAMA MRI!! Wow. Justru aku sudah pw alias posisi wenak. Lagu yang diperdengarkan juga enak-enak. Ternyata aku MRI terhitung selama 40 menitan. Jujur, perasaan selama di dalam tabung hanya terasa 30 menitan. Ya, apa pun itu yang penting dilancarkan. Perawatnya bilang, besok pukul sepuluh pagi akan dibacakan hasilnya.
•••
Jumat, 2 Mei 2025
Ditunggu sampai pukul sepuluh pagi, masih belum ada dokter yang datang untuk membacakan hasil MRI. Setiap perawat yang masuk untuk memeriksa tensi, selalu menjawab tidak tahu atau tunggu saja dokternya. Sebetulnya aku memang harus memaklumi apa-apa yang terjadi di rumah sakit. Mulai dari janji-janji yang terus diingkari. Sebetulnya ini bukan sebuah janji, sih. Namun, ketika kita sudah memutuskan sesuatu bukankah itu adalah sebuah janji? Nyatanya sampai sore pun masih belum ada kabar terkait hasil diagnosis.
Akhirnya ketika ada perawat masuk untuk mengecek tensi. Aku dan adikku inisiatif bertanya soal kabar hasil MRI. Perawatnya kali ini mengatakan memang sebaiknya tunggu dokter radiologi terlebih dahulu. Selanjutnya aku bertanya, "Mbak, kira-kira kenapa, ya, aku sampai harus dirawat inap?"
"Kalau itu saya juga kurang tahu. Tapi memang kalau menggunakan BPJS, prosedurnya harus dirawat inap, Mbak," jawabnya. Aku hanya mengangguk-angguk.
Selanjutnya adikku inisiatif bertanya untuk menanyakan waktu pulang. Well, ternyata malam itu juga aku diizinkan untuk pulang ke rumah. Syukurlah, sejujurnya aku tidak betah di rumah sakit. Dan, perawat juga menyampaikan bahwa hasil diagnosis akan dibacakan pada hari Senin tanggal 5 Mei. Aku menarik dan mengembuskan napas. Sudah berjalan dua pekan dan aku masih belum tahu sebenarnya aku ini menderita penyakit apa, sih? Dan aku harus menunggu dua hari lagi untuk mengetahui hasil diagnosis. Akhirnya aku pulang dengan mempersiapkan diri untuk lebih bersabar lagi.
•••
Posting Komentar