NYATANYA waktu berlalu baru tiga pekan, tetapi kenapa rasanya seperti satu bulan? Waktu memang berjalan sebagaimana mestinya. Namun, adanya proses, menjadikan waktu memiliki perasaan …. Perasaan, kok, lama banget, ya, padahal baru sebentar? Lagi-lagi aku jadi ingat kata Ibunya Desty, “Itulah tanda kalau umur kita sebetulnya pendek.”
Jujur, ya, semenjak menerima kabar bahwa ada pembengkakan otak yang kata dokter tidak bisa diapa-apakan membuat aku jadi berpikir yang macam-macam: apa ajalku sudah dekat, ya? Menulis begini saja rasanya takut. Akan tetapi, itulah yang sempat aku pikirkan. Untungnya aku tidak terlalu memikirkan dan tidak menganggap kenyataan tersebut adalah momok. Toh, sudah terjadi, tidak ada cara lain selain menerima kenyataan, kan?
Tiga pekan belakangan ini, Tuhan benar-benar memberikan ujian yang luar biasa. Namun, dari situ aku menyadari sebuah pelajaran yang berharga. Memang harus begitu. Supaya masalah tidak terasa berat, sudah seharusnya kita mencerna pelajaran. Dengan begitu kita akan memahami betapa masalah tidak selamanya negatif. Masalah yang baik adalah masalah yang membuat kita belajar dan bertumbuh.
•••
Senin, 5 Mei 2025
Belajar dari konsultasi pertama kali. Aku dan Mbak Vela memutuskan untuk datang ke rumah sakit pukul 14.30 WIB supaya tidak terlalu lama antre. Hari ini adalah jadwal yang ditentukan untuk membacakan hasil MRI. Rasanya deg-degan. Memang aku tidak terlalu memikirkan, tetapi bagaimana, sih, perasaan kita ketika dibacakan ada apa di dalam kepala kita? Apakah ada sesuatu yang cukup serius? Seperti yang sudah sering aku katakan: aku amat sangat menerima hasilnya apa pun itu.
O, iya, kebetulan aku sudah dapat nomor antrean dari aplikasi Mobile JKN. Jadi, ketika tiba di rumah sakit, aku dan Mbak Vela langsung menuju poli mata untuk menunggu antrean. Meskipun sebetulnya dalam benak sempat membatin, “Emm, ini ke administrasi dulu enggak, ya? Masa, iya, semudah itu langsung masuk aja?” Namun, pemikiran itu tidak pernah aku ungkapkan, hanya aku utarakan dalam hati. Toh, Mbak Vela jauh lebih mengerti soal urusan begini daripada aku.
Dan kebetulan sekali! Ketika menaiki tangga, Mbak Vela berbisik, “Liat tuh, Vin, dokternya baru datang juga. Lagi naik tangga juga di depan kita ini.”
Aku lumayan lega, jadi tidak perlu mengantre terlalu lama. Dan, nomor antreanku juga tidak terlalu jauh: 10. Kemungkinannya hanya menunggu 30 menitan baru kemudian akan dipanggil. Lorong ruang tunggunya juga tidak seramai waktu pertama kali aku konsultasi. Jadi, masih ada beberapa bangku yang kosong. Aku dan Mbak Vela pun menunggu di lorong ruang tunggu. Kami menunggu sekitar 30 menitan.
Tiba-tiba Mbak Vela meraih tanganku untuk berdiri dan masuk ke ruangan dr. Ar. Aku bingung karena namaku belum dipanggil kenapa sudah masuk? Dan, omong-omong ke mana dr. Ar, kok, tidak ada di ruangannya? Hanya ada asistennya saja. Aku pun duduk di bangku seberang meja dr. Ar.
“Tadi saya liat, kok, dokternya pergi? Kirain saya cuma sebentar. Tapi Mbaknya (asisten dokter) balik tanpa dr. Ar. Sekitar sepuluh menit lalu,” ujar Mbak Vela.
Aku mengerutkan kening. O, jadi tadi sebetulnya dr. Ar sudah keluar dari ruangan? Terus ini jadinya bagaimana?
“Iya, Mbak. dr. Ar sudah pulang, Mbaknya tadi udah daftar di bawah belum?” tanya asisten dokter.
“Belum, Mbak, soalnya ini sudah dapat nomor antrean dari aplikasi Mobile JKN-nya,” jawab Mbak Vela.
“Iya, tetap harus registrasi ulang, Mbak. Soalnya ini saya liat namanya (nama aku) di sini juga merah.”
Aku mengembuskan napas. Jadi maksudnya tidak jadi dibacakan hasil MRI-nya hari ini?
“Nanti Mbaknya balik lagi ke sini hari Jumat, ya. Sekarang sebaiknya daftar lagi ke bawah. Nanti Jumat registrasi ulang lagi, ya,” jelas asisten dokter selanjutnya.
Aku menarik dan mengembuskan napas. Jumat? Empat hari lagi? Masih harus menunggu empat hari lagi maksudnya?
“Kalo ke LEC bisa enggak, Mbak, besok?” tanya Mbak Vela lagi.
“Bisa. Cuma ini pakai BPJS, kan, ya? Kalau ke LEC Mbaknya bakal bayar lagi nanti. Jadi, mending hari Jumat ke sini lagi aja, Mbak.”
Akhirnya aku pulang dengan perasaan marah dan kesal. Selama perjalanan pulang berusaha menahan diri untuk tidak menangis, tetapi tetap menangis juga. Tadi sebelum daftar, aku sempat bertanya ke Mbak Vela, “Kalo konsul ke LEC bayar berapa, ya?” Pikirku masih ada sisa uang, seharusnya kalau bayar pun tidak begitu mahal.
Mbak Vela menjawab, “Udah hari Jumat aja, cuma dibacain hasil doang, kok.”
Jujur aku sedih betul dengarnya. Betapa selama tiga pekan ini aku harus menjalani hari dengan tanda tanya besar: aku ini sakit apa, sih? Sempat kemarin malam overthinking tentang masalah penyakit aku. Tentang apakah aku bisa melihat dengan lebih jelas dan normal lagi? Sedih karena aku betul-betul lelah menunggu dan memikirkan masalah mata aku. Drama? Berlebihan? Terserah. Cuma, itulah yang aku rasakan.
Sekarang begini. Secara pribadi aku merasa sehat total saja, kok, yang bermasalah hanya mataku yang susah melihat. Ekspektasi check up mata akan langsung ketahuan penyakitnya apa: glaukoma misalnya. Namun, LEC pun tidak mendapati ada masalah di mataku. Maka aku dirujuk ke RS Urip Sumoharjo untuk di-MRI. Setelah di-MRI kupikir aku akan menemukan titik terang penyebab mataku. Nyatanya aku masih harus menunggu lagi karena miskomunikasi.
Cuma, ya, sudah. Sudah terjadi, mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain selain menerima kenyataan, kan?
•••
Selasa, 6 Mei 2025
Bangun pagi rasanya sudah lebih baikan. Aku betul-betul sudah menerima kenyataan dan bersiap menjalani hari tanpa memikirkan harus menunggu hari Jumat. Sudah lelah soalnya. Kebetulan saat itu Vio masih libur sekolah, jadi bisa mengobrol dan ngerjain Vio, xixi. Siangnya tidur sebentar dan ketika bangun sudah mau sore. Aku mengecek ponsel dan hari Selasaku yang dimulai dengan semangat baru dan bahagia, mendadak abu-abu cenderung gelap.
Sebuah kabar tentang masalah yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Dan, karena masalah itu kepalaku pusing berhari-hari dan setiap bangun mataku sedikit nyeri. Sebuah masalah yang membuat aku memutuskan untuk setelah ketahuan hasil diagnosisnya nanti aku akan berhenti berobat sementara waktu. Masalah pengobatan aku sudah sangat merepotkan keluargaku. Adanya masalah baru ini akan membuat keluarga makin repot.
Lagi pula, entah kenapa, aku mulai merasa tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi padaku. Toh, dokter bilang pembengkakan otakku tidak bisa diapa-apakan. Kemungkinan sembuh juga masih 50:50. Aku tahu seharusnya aku tidak begitu. Namun, mau bagaimana lagi? Kali ini aku butuh waktu untuk bisa menerima keadaan yang rasanya hambar dan pahit.
•••
Jumat, 9 Mei 2025
Sedikit ada drama ketika akan melakukan registrasi ulang. Namun, semuanya bisa teratasi dengan baik. Kali ini aku ditemani Endan karena Mbak Vela sedang sakit. Doakan semoga beliau selalu sehat-sehat, ya, aamiin. Sama seperti sebelumnya kami memutuskan untuk berangkat pukul 14.00 WIB supaya tidak terlalu lama menunggu. Kami menunggu sekitar satu jam sampai akhirnya dr. Ar datang sekitar pukul 15. Untungnya aku dapat antrean nomor 4. Alhasil aku dipanggil lebih dulu.
Coba tebak? Mau main tebak-tebakan tidak hasil MRI-nya? Apakah benar ada tumor otak seperti kemungkinan yang dikatakan oleh dr. Lili atau karena gen turunan?
“Jadi, dari hasil MRI kamu, kepala kamu enggak ada apa-apanya. Kemungkinan besar autoimun. Jadi, nanti kamu saya rujuk ke dokter spesialis penyakit dalam, ya.”
Alhamdulillah. Ini adalah kabar baik aku tidak perlu takut karena kepalaku aman-aman saja. Di sisi lain, aku masih belum mendapatkan penyebab akurat dan pasti, sebetulnya aku ini sakit apa? Apa yang menyebabkan penglihatan mataku mengalami penurunan? Heran sekaligus sedih, masalahnya ada di mata, tetapi penyebabnya bisa sampai ke mana-mana. Sudah melakukan MRI yang kata dokter alat paling canggih untuk mendeteksi isi kepalaku.
MRI memang berhasil merekam bahwa tidak ada masalah dalam kepalaku. Akan tetapi, MRI masih tidak bisa mengungkapkan penyakit yang aku alami. Cuma, ya, sudah, mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain selain menerima keadaan dan kekuatan, kan?
Akhirnya dokter meresepkan obat minum dan obat tetes mata. Endan mengurusi segala berkas surat rujukan untuk konsultasi ke dokter penyakit dalam nanti. Dan, Endan mengabarkan bahwa dokter penyakit dalam sedang cuti. Jadi, aku akan kembali konsul pada tanggal 19 Mei nanti. Aku tidak mau berharap, tetapi aku berdoa supaya segala hasil diagnosisnya betul-betul keluar.
Innallaha ma'asshobirin.•••
Posting Komentar