TAHUN ini banyak teman aku yang akhirnya melepas masa lajangnya. Satu per satu mereka mulai siap menempuh hidup baru. Sebuah bahtera yang bukan lagi berisi tentang dirinya sendiri, melainkan ada sosok lain yang perlu diprioritaskan. Januari 2025, Lina—teman SD, teman TPA, teman les, tetangga—menikah. Di waktu yang bersamaan pula, Edilya—teman SMA—menikah.
Bulan April, Desty—teman SMP—lamaran dan beberapa hari lagi akan melangsungkan pernikahan. Juni ini selain Desty, ada Risma—tetangga dan teman remaja masjid—juga akan menikah.
Ads, sih, terlintas sedikit mempertanyakan diri sendiri, “Gue kapan, ya?” Enggak expect juga, kalau tahun ini menjadi rekor terbanyak teman-temanku yang menikah. Untungnya aku enggak mendapatkan tekanan dari siapa pun untuk segera menyusul. Baru merasakan, sih, betapa enggak mudahnya mencari partner yang tepat. Jadi, percayakan semuanya kepada Allah, tugas kita hanya berusaha.
Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan.
Dan, aku punya cerita tentang satu hari ketika aku harus mendatangi salah satu pernikahan temanku. Namun, hari itu cukup drama dan membuat aku khawatir. Enggak ada hal lain yang bisa kulakukan selain sabar dan menghadapinya. Dari kesabaran yang aku hadapi, justru aku mendapat momen yang mengenang nostalgia.
• Minggu, 25 Mei 2025 •
Ada satu hari ketika dua temanku sekaligus menikah. Di tanggal 25.5.25, tanggal cantik memang. Ada Galuh—teman remaja masjid dan tetangga beda gang. Kemudian Dina—teman kecil, teman TPA, dan teman les. Mereka adalah teman satu kampung di Sawo. Sebelum berangkat ke Sawo, sempat ada kendala dan sedikit drama, tetapi semuanya bisa teratasi. Dari beberapa hari sebelumnya pun aku sudah berjanjian dengan Eka untuk kondangan bareng.
Rundown-nya begini: pukul 10, Eka akan kondangan ke salah satu teman kerjanya. Kemudian aku ke rumah Eka (by the way, Eka juga tinggal di kampung Sawo). Sepulang Eka dari kondangan temannya, aku dan Eka ke kondangan Galuh. Ba'da Zuhur ke nikahan Dina di UBL. Sebetulnya aku bisa aja ke nikahan Dina bareng teman satu sirkel les, tetapi aku enggak mau ngerepotin mereka karena mataku. Jadi, aku mengajak Eka.
Pagi itu aku sedang sibuk memikirkan mau mengenakan kostum apa, ya? Eum, antara gamis atau kemeja yang dipadukan dengan kulot plisket. Dering telepon berbunyi, notifikasi WhatsApp: Ekaaa memanggil …. Keningku sempat berkerut, ada apakah gerangan? Kami jarang berkomunikasi melalui telepon kecuali hal penting. Lantas aku langsung menerima sambungan tersebut. Aku menyapa, “Halo, kenapa, Ka?”
Dari balik gawai terdengar suara Eka segera menjelaskan, “Yup, nanti kita ubah rencana. Jadi, gue ke kondangan temen gue itu jam satu siang. Berarti nanti kita ke nikahan Galuh dulu, abis itu baru pernikahan Dina. Gimana?”
Aku menjauhkan gawai untuk melirik jam saat ini, pukul 9. Artinya harus segera siap-siap. “Iya udah, Ka. Gue siap-siap dulu, ya.”
Well, manusia berencana, Tuhan yang menentukan.
Setelah menanyakan kepada Eka terkait kostum hari ini, akhirnya aku memilih mengenakan gamis. Setelah itu aku mulai bersiap-siap dan merias diri. Anyway, jujur sebelumnya aku adalah perempuan yang enggak begitu suka dengan makeup. Asumsiku waktu itu menggunakan lipcream dan skincare udah cukup. Sampai akhirnya aku berada di titik: no, I need makeup! Mungkin aku akan bahas topik ini di konten selanjutnya.
Setelah semuanya sudah siap, aku segera berangkat ke rumah Eka. Sebelumnya aku pernah tinggal di kampung Sawo selama 15 tahunan. Namun, dikarenakan satu dari lain hal, kami sekeluarga harus pindah rumah. Meskipun begitu sampai saat ini aku masih sering bermain ke kampung Sawo karena banyak teman di sana. Sebetulnya aku lebih sering ke rumah Eka, sih.
Sampai di rumah Eka, ternyata Eka dan ibunya sudah siap-siap untuk pergi ke nikahan Galuh. Yup, alhasil kami pergi berempat bersama dengan salah satu tetangga, ibu siapa, ya, namanya? Sebetulnya waktu itu sudah hampir mendekati Zuhur. Alias rencana kedua yang disampaikan Eka tadi melalui telepon juga enggak sesuai. Kami baru kembali dari nikahan Galuh tepat ketika Zuhur. Well, kami mengubah rencana kembali.
Tadinya setelah dari pernikahan Galuh, mau langsung ke pernikahan Dina. Namun, karena sudah Zuhur dan sementara Eka harus segera bertemu dengan teman kerjanya untuk bersama-sama pergi ke pernikahan temannya. Akhirnya, kami mengubah rencana. Eka memutuskan untuk pergi ke pernikahan temannya terlebih dahulu, baru setelah itu kami akan ke pernikahan Dina. Cukup hectic memang.
Honestly, aku lumayan cemas. Pernikahan yang diadakan di gedung, biasanya hanya setengah hari. Sementara sekarang sudah menunjukkan pukul 13. Eka sudah berangkat, dia bilang hanya sebentar pukul 14 sudah kembali. Entah mengapa, rasanya takut enggak bisa mendatangi pernikahan Dina. Bagaimana kalau ternyata acaranya sudah selesai? Bagaimana kalau aku enggak datang ke pernikahan Dina?
Dina merupakan teman kecil yang cukup dekat. Dia anak yang supel, humoris, ramah, dermawan, dan enggak jelas (nyebelin). Mengingat kebaikan dia ke aku dari zaman bocah sampai kami les bareng, rasa-rasanya sedih banget kalau sampai enggak bisa menghadiri hari spesialnya. Dia adalah orang pertama yang support aku menulis waktu masih bocah, dia yang mengenalkan aku dengan Taylor Swift. Dan, keluarganya pernah mengajak aku liburan ke Lembang. Bayangin, masa aku enggak datang?
Sambil baca novel Planet Luna, aku menunggu Eka di rumahnya. Sebetulnya ibu Eka susah menyarankan untuk datang langsung ke rumahnya Dina saja nanti sore. Kebetulan memang rumah Dina dekat sini. Kami semua memang satu kampung, tetapi aku sudah pindah. Aku pun sudah memastikan bahwa Eka enggak mungkin kembali pukul 14. Dan benar saja, sekitar pukul 14.30-an Eka baru kembali.
Sebetulnya aku enggak enak banget karena harus merepotkan Eka. Dia pasti cape banget. Namun, memang sebelumnya dia sudah menyanggupi ajakan untuk menemani aku. Seperti yang kusampaikan tadi, aku lebih nyaman ke mana-mana dengan Eka karena mataku agak susah. Love you, Eka!!!
Akhirnya aku dan Eka langsung berangkat ke UBL. Selama perjalanan aku cukup cemas dan berharap acara masih berlangsung. Akan tetapi, sesuai prediksi, ternyata sudah sepi dan tinggal ada beberapa orang yang sibuk membereskan dekorasi. Parkiran pun tampak kosong, seakan-akan enggak ada acara apa pun yang terjadi di hari itu. Rasanya kecewa banget, ini artinya aku enggak bisa mendatangi pernikahan Dina, ya? Aku mengembuskan napas panjang. Harus ngomong apa, ya, ke Dina nanti? Setelah itu kami kembali pulang ke rumah Eka.
“Ke rumahnya aja nanti, Yuvina. Sore nanti dia open house, kok,” kata ibunya Eka mencoba menenangkan aku. Sebetulnya aku enggak begitu menunjukkan kekhawatiran aku. Ibunya Eka kanjut berujar, “Coba, Ka, chat temen kerja kamu yang tetanggaan sama Dina. Nanti sore open house jam berapa?”
O, iya, dunia ini memang sempit, ya. Tetangga depan rumah Dina merupakan seorang guru yang bekerja di satu sekolah bersama Eka. Kabar baik datang dan benar, alhamdulillah Dina open house.
Omong-omong semenjak kami lulus SMP, Dina merantau ke luar kota dan melanjutkan SMA di perantauan. Baru setelah itu kami jarang berinteraksi dan lost contact. Aku dan Dina berada dalam satu sirkel les bersama Lina, Endah, Putri, Feni, Nuy, dan Elsi. Biasanya kami akan kembali berkumpul saat Dina pulang ke Lampung, seperti libur hari raya atau libur akhir tahun. Namun, tiga tahun belakangan kami sudah sangat sibuk dan jarang komunikasi, bahkan enggak pernah. Begitu pun aku dan Dina, yang mengalami lost contact.
Pukul 16, aku dan Eka pergi ke rumah Dina. Aku jadi nostalgia, biasanya jam segitu aku nyusul Dina untuk pergi mengaji atau les di rumah Mbak Endang. Sekarang aku ke rumah Dina untuk merayakan hari pernikahannya. Time flies. Meskipun waktu berlalu begitu cepat, tetapi Dina enggak berubah. Dia masih sama seperti Dina yang kukenal sejak kecil. Sejujurnya ketika kami tumbuh dewasa, ada kecanggungan ketika berkomunikasi. Padahal dulu waktu kecil kami bisa menceritakan dan bermain apa pun.
Siapa yang pertemanannya begini, pernah dekat kemudian awkward ketika dewasa'?
Di sore itu. Aku bersyukur. Aku memang sedikit cemas dan kecewa karena enggak bisa datang ke resepsi pernikahan Dina. Namun, aku bersyukur dengan datang ke open house-nya, aku merasa kembali seperti masa kecil. Ngobrol dan cerita bersama. Sebuah momen yang enggak pernah aku dapatkan ketika kami sudah tumbuh dewasa.
Di sore itu. Kami sedikit bernostalgia ke masa kecil. Membicarakan soal pernikahan. Menceritakan soal masalah mata aku. Dan yang enggak akan pernah aku lupakan adalah kejujurannya. Dina bilang, dia lebih suka aku membuat konten bahas buku, daripada nyanyi, haha. Well, aku enggak nyangka kalau dia ternyata mengikuti konten aku. Dia bilang suara aku ketika public speaking satisfying, haha.
"Gue sering nonton konten Lo yang bahas buku itu, Yup. Gue malah lebih suka dengerin lo ngomong daripada nyanyi," Kafa Dina. "Di mana lagi lo dapet temen jujur kayak gue."
Aku tertawa geli. Iya, ya. Mulai dari situ aku coba lebih sadar diri sendiri. Aku sama sekali enggak ada perasaan sedih apa lagi sakit hati. Justru, akhirnya ada orang yang validasi soal konten bahas buku aku di media sosial dan memberikan komentar. Jafang-jarang kamu ngobrol intens begini dan dia ngasih aku pemantik semangat bikin konten. Thanks, Din
Rumah Dina ramai tetangga yang berdatangan. Dina pun beberapa kali menyambut tamu dan berinteraksi. Dan sore itu juga hujan turun. Hari ini perasaan aku campur aduk, tetapi Allah kasih sore hari yang nostalgia dan menyenangkan. Aku juga ingin berterima kasih dengan Eka yang sudah bersedia menemani aku seharian. Eka juga bilang dia senang bisa menemani aku ke rumah Dina.
Dan, terima kasih, ya, Vina. Kamu udah berhasil menghadapi rasa cemas dan khawatir. Kamu mungkin memang enggak ditakdirkan untuk datang ke resepsi Dina. Akan, tetapi, kamu mendapatkan sore yang berkesan dan bermakna.
Selamat menikah, Dina!
Posting Komentar